Cerpen
Sastra
Tukang Cukur dan Bayangan Kenangan
pixabay.com |
Istri
Om Banus dibunuh beberapa hari setelah Om Banus pensiun menggali sumur.
Kematian mengambil nyawa istrinya dengan cara bengis. Leher ditebas. Darah
menyembur-nyembur. Lalu mati tanpa teriak. Begitu pasrah. Om Banus Hampir mati
ditimbun kehilangan. Namun perasaan itu tak berlangsung lama. Ia menerima
kematian sebagai kenyataan yang mendatangi tiap manusia kapan pun, di mana pun,
dan dengan cara apa pun.
Berhari-hari
sesudah itu, Om Banus memutuskan menjadi tukang cukur. Entah apa alasannya,
orang kampung kami tak pernah ingin tahu. Om Banus menyulap ruangan tamu
rumahnya menjadi ruangan cukur. Satu cermin besar digantung hening di dinding,
satu alat cukur dan satu bungkus silet tergeletak di atas meja yang merapat ke
dinding, dua buah gunting dan satu sisir hitam di gantung pada paku.
Di
dinding lain digantung lukisan istrinya sedang tersenyum. Lukisan itu begitu
hidup, membuat Om Banus lupa perempuan itu telah tiada. Semakin lama
menatapnya, lukisan itu menjelma kesedihan yang mengiris-iris hati Om Banus.
Peralatan
cukurnya telah lama tidak diganti. Walau begitu, penduduk desa tidak pernah menaruh
gusar untuk mendatangi tempat cukur Om Banus. Pasalnya, ada hal unik di ruangan
cukur.
Di
situ, Om Banus menyediakan buku-buku cerita, buku-buku politik dan sastra,
buku-buku bertani, majalah-majalah serta koran-koran bekas, dan cerita-cerita
rakyat. Ditambah lagi sosok Om Banus juga dikenal sebagai pencerita ulung
dengan aneka cerita serius, lelucon, dongeng, berita-berita aktual, serta
perkembangan mutakhir keadaan negara. Memasuki ruangan cukur Om Banus serasa
memasuki rumah literasi.
Biasanya,
ibu-ibu maupun bapak-bapak mengantar dan menemani anak-anaknya bercukur sambil
mendengar cerita-cerita Om Banus serta membaca buku-buku yang ada. Anak-anak
juga berdatangan beramai-ramai untuk membaca dan tak bosan-bosannya mendengar
aneka cerita Om Banus.
Keadaan
demikian membuat penduduk desa menganggap Om Banus telah melupakan kenangan
pahit pembunuhan istrinya. Tapi siapa yang pernah tahu, di balik kebahagiaan
yang terpancar di raut wajahnya itu, ada luka yang menganga begitu lebar di
dalam benak oleh karena kematian yang mahakejam.
Istrinya
dituduh menyantet putra bungsu Phlipus Lodo, Kepala Desa di kampung kami.
Ditambah lagi dengan pengakuan istri Kades Philipus Lodo bahwa tidurnya terganggu
lantaran melihat kelabat bayangan istri Om Banus di dalam kamar tidur. Tuduhan
itu tersiar begitu cepat dan terulang-ulang ke telinga penduduk desa. Ia
tersiar beramai-ramai serupa jamur di musim hujan.
“Ah,
tidak mungkin. Istrinya Om Banus itu ‘kan rajin ke gereja? Bagaimana bisa ia
dituduh seperti itu?” Warga berkomentar seakan tidak percaya usai penguburan putra
bungsu Kades Philipus Lodo.
Beberapa
hari setelah penguburan, saat matahari belum sepenuhnya terbenam, seorang warga,
entah kerasukan setan apa, tega membunuh Vero Peni, istrinya Om Banus, dengan
bilah parang yang tajam. Darah menyembur-nyembur seperti keluar dari keran air
yang patah digilas truk. Perempuan paruh baya itu mati terkapar tanpa teriakan
di tengah jalan sekembalinya dari kebun.
Si
pembunuh menyerahkan diri kepada polisi hari itu juga sebelum diamuk Om Banus yang
juga berkemampuan bela diri. Vero Peni mati tanpa pesan apa pun. Kematian
datang dengan cara kejam dan meninggalkan derita kehilangan yang teramat
menyesakkan.
Sejak
itu, Om Banus percaya, berita bohong telah merasuk dan merusakkan nalar
penduduk desa. Istrinya telah menjadi korban pertama dari berita bohong yang
tersiar dari mulut ke mulut. Benar apa yang dikatakan para penulis, kebohongan
yang diulang-ulang dapat dipercaya. Berhati-hatilah dengan kebohongan macam
ini. Bila perlu dibasmi hingga ke akar-akarnya.
Satu-satunya
cara membasmi kebohongan bagi Om Banus adalah menumbuhkan minat baca. Karena
itu, ia siapkan buku-buku dan menyiapkan ruangan cukur. Kepala-kepala orang
kampung harus diisi dengan bacaan-bacaan yang baik agar mampu menyaring tiap
informasi yang datang.
Rambut-rambut
penduduk desa harus dicukur agar tidak menutupi batok kepala yang mulai
diperbodoh dan begitu mudah percaya pada kebohongan-kebohongan. Begitu
pikirnya. Dan ia menyulap ruangan tamu menjadi ruangan cukur penuh dengan
buku-buku.
***
Mula-mula,
penduduk desa segan ke ruangan cukurnya. Sebab, mereka menduga-duga Om Banus
juga memiliki kekuatan santet serupa istrinya. Namun, mereka cepat-cepat
menepis dugaan-dugaan itu. Mereka mengingat kebaikan Om Banus yang menggali
sumur untuk warga dan tak sungkan membantu warga.
Ditambah
lagi keunikan Om Banus yang pandai melawak dan bercerita. Semua ini mengalahkan
dugaan yang merongrong kepala orang-orang kampung. Mereka lalu datang dan memasrahkan
rambutnya dipangkas Om Banus seraya menyendengkan telinga mendengar
cerita-cerita menarik darinya.
Beberapa
di antaranya yang percaya berita penuduhan terhadap istri Om Banus, datang
karena didesak oleh rasa bersalah atas kematian mahakejam itu. Mereka membayar lebih
dari harga seharusnya tiap kali rambut mereka dicukur. Om Banus kerap tersenyum
ramah dan menolak pemberian itu karena amat tak elok bila keseringan dikasihani
orang lain. Betapa pun susahnya hidup, jangan pernah menyusahkan orang lain.
Begitu ia berprinsip.
Dari
hari ke hari, ruangan cukur itu dipenuhi orang kampung. Mereka duduk mengantre
seraya membaca. Yang lain mendengar cerita sambil memasrahkan rambutnya
dicukur. Melihat keriangan yang kerap menempel di wajah Om Banus, para penduduk
menyadari Om Banus telah melupa luka kematian istrinya.
Namun
bukan itu yang dialami Om Banus. Justru semakin banyak orang kampung mendatang
ruangan itu, semakin ia merasa bayangan istrinya kian mendekatinya. Orang
kampung tidak menyadari hal ini. Mereka tidak pernah tahu di balik wajah Om
Banus yang riang itu, tertumpuk luka dalam hati yang mendebur-debur bagai ombak
di pantai selatan.
***
“Alangkah
dungu dan bodohnya kepala ini,” gumam Om Banus ketika menyisir rambut Kades
Philipus Lodo. “Begitu mudah kepala ini menaruh percaya pada kabar bohong tanpa
pernah mencari tahu kebenarannya.” Ia terus menyisir. “Terlampau banyakkah rambut
tumbuh menutupi kebenaran dan menciptakan kemalasan yang bercokol abadi dalam
otak ini?”
“Ada
apa Banus? Mengapa wajahmu begitu muram?” Kades Philipus Lodo mengagetkan Om
Banus.
“Oh..,”
Om Banus terlihat kaget, “Tidak apa-apa. Saya baik-baik.” Om Banus tersenyum.
Suaranya sedikit terbata-bata. Lalu ia perbaiki posisi kepala Kades Philipus
Lodo.
“Bagaimana
model cukurnya?”
“Digundulin
saja. Maklum sudah tua. Sudah tidak laku.” Ia berkelakar sambil tertawa.
Kepalanya kembali miring. Om Banus kembali memperbaiki posisi kepalanya dan
mulai mencukur.
Helai-helai
rambut itu jatuh sedikit demi sedikit. Dan entah kenapa, Om Banus merasa
bayangan istrinya begitu dekat sore itu. Bayangan sosok perempuan sederhana itu
meriak-riak di hadapannya. Om Banus melirik kepada lukisan di dinding. Semakin
ia menatap, senyuman itu menjelma rintihan sakit yang berujung kematian.
Helai-helai
rambut terus berjatuhan, sementara Kades Philipus Lodo tertidur dengan bau
alkohol dari hembusan napasnya. Rupanya kesibukan Om Banus mencukur dan
beberapa orang yang tengah hening membaca menciptkan kantuk di kelopak mata
Kades Philipus Lodo.
Om
Banus mulai merapikan secara menyeluruh. Hampir selesai. Sesudah itu, Om Banus
meletakkan alat cukur, mengambil silet di atas meja, dan melepaskan kulit
pembungkus. Ia menemukan silet itu begitu tajam di tangannya. Dengan hati-hati,
ia mulai mencukur bagian samping kanan lalu kiri. Ia menggeser tubuhnya ke
belakang dan menundukkan kepala Kades Philipus Lodo. Kades Philipus Lodo sempat
terbangun, tetapi memilih tidur lagi dalam posisi demikian.
Silet
di tangan Om Banus bergerak perlahan-lahan hingga bulu-bulu halus di tengkuk
Kades Philipus Lodo dilibas seluruhnya. Diam-diam, Om Banus membayang leher
istrinya yang ditebas sebilah parang tajam dari tangan orang kampung yang tak
kenal cinta kasih, manusia yang telah dirasuk kebohongan.
Napasnya
semakin tidak teratur dilanda kesedihan kenangan. Ia terus mencukur, mencukur,
dan mencukur di tengkuk yang sama. Bayangan istrinya kian mendekat, memenuhi
tangan, kepala, dan seluruh dirinya sampai akhirnya ia benar-benar mendengar
erangan kesakitan menjelang kematian.
Sayup-sayup
ia mendengar ibu-ibu dan anak-anak berteriak-teriak menjauh. Barulah Om Banus
sadar, tangan dan wajahnya telah dipenuhi darah dari tengkuk Kades Philipus
Lodo.
“Bukan, bukan aku membunuhnya. Bukan
aku! Kenangan yang telah membunuhnya. Bukan aku, bukan…..!!!” Om Banus
berteriak-teriak ketika polisi menyeretnya ke dalam mobil di sore hari yang kian
gelap.
(Tulisan ini pernah tayang pada Flores Pos cetak, 2018).
Selo Lamatapo,
Tinggal di Gere Maumere. Mengelola blog pribadi: selolamatapo-blogspot.com
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment