Ads Right Header

Revitalisasi Pancasila: “Senjata” Anti Radikalisme

Pixabay.com


Pelbagai narasi 'pembenaran (rasionalisasi) untuk 'meminggirkan Pancasila' sebagai etika publik di negara yang plural ini, terus didengungkan oleh sekelompok orang. Mereka coba membentangkan nilai agama mereka sendiri untuk dijadikan panduan dalam negara yang sangat heterogen ini. Dengan pola pikir semacam ini, sebenarnya mereka mau melenyapkan factum pluralitas itu dan memaksakan sebuah agenda politik yang berbasis ideologi agama tertentu.

Paham radikalisme-terorisme menjadi “monster politik” yang berpotensi “mengoyak” bangunan nasionalisme yang kokoh. Aksi radikalisme yang mengatasnamakan bendera agama tertentu kembali mengguncang bumi ibu pertiwi. Serangkaian ledakan bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya, Sidoarjo, dan Riau pada medio Mei dua tahun yang lalu menjadi penanda tegas bahwa persatuan dan keutuhan bangsa sedang dalam ancaman serius.

Kelompok radikal sangat agresif memproklamirkan ideologi (paham) sektarian berdasarkan “tafsiran subyektif” doktrin teologi-biblis untuk menggantikan ideologi Pancasila yang terbukti “efektif” merekatkan pelbagai anasir dan entitas politik yang majemuk di republik ini. Mereka berusaha agar “fakta perbedaan” yang sudah menjadi identitas historis ke-Indonesiaan dileyapkan. Indonesia dalam perspektif kelompok teroris harus berjalan di atas rel ideologis yang homogen (seragam).

Itu berarti kelompok lain yang tak sewarna dengan para radikalis-fundamentalis-teroris “tak berhak” menghirupi udara politik bangsa ini. Indonesia di mata para teroris adalah ‘mereka yang menganut paham keagamaan yang berwatak absolutis dan represif.

Padahal, salah satu amanat dasar dalam “ideologi Pancasila” adalah penghargaan terhadap realitas perbedaan dalam semangat persatuan bangsa. Atas dasar itu, seremoni peringatan Hari Lahir Pancasila yang digelar pada 1 Juni yang lalu menjadi momentum strategis dan ideal bagi kita untuk berikrar setia pada panji dasar negara yang sangat cocok untuk latar Indonesia yang majemuk ini.

Pengingkaran Fakta Alamiah dan Historis

Sebenarnya, tak ada argumentasi yang valid untuk menegasi facktum kehinekaan (pluralitas) yang sangat eviden dalam “jantung tubuh RI”. Kita tahu NKRI dikonstruksi di atas lading  politik yang sangat heterogen dari segi suku, agama, ras, wilayah, Bahasa, dan budaya. 

“Bayi Indonesia” lahir dari “tetesan keringat” perjuangan dari semua komponen bangsa yang beragam tersebut. Sejarah merekam dengan sangat baik perihal kontribusi signifikan dari semua entitas bangsa dengan latar identitas yang jamak. Indonesia tanpa menyebut atau mengafirmasi kelompok politik yang dianggap minoritas sekalipun, itu bukan Indonesia.

Kelompok ekstremis tampil ke panggung politik dengan misi “pembengkokan dan penyangkalan realitas terberi (given) tentang narasi keindonesiaan. Mereka berjuang keras untuk “menghapus” memori kolektif bangsa tentang indahnya “praksis kehidupan” para leluhur kita di taman Indonesia yang penuh warna.

Karena itu, kita seharusnya menanggung utang budi yang besar kepada para pendiri bangsa (the foundhing fathers) yang telah “menemukan” satu ideologi yang bisa mengakomodasi dan merekatkan fakta perbedaan tersebut. Kontemplasi kebangsaan yang intensif dari Sukarno di bawah Pohon Sukun (kota Ende) menghasilkan “sebuah roh kebangsaan” yang selaras dengan watak primordial Negara kita. Rumusan lima sila (moralitas) dalam Pancasila, tak diragukan lagi merupakan representasi dan manifestasi dari nilai-nilai orisinal (local wisdom) yang dihayati oleh para leluhur kita.

Berbagai studi dan riset dalam bidang antropologi budaya menunjukkan bahwa sejak semula suku-suku yang mendiami wilayah Nusantara sudah mengimplementasikan secara tulus nilai ketuhanan (dimensi religiositas), penghargaan terhadap martabat kemanusiaan (matra humanitas), hidup dalam persekutuan (unsur  persatuan), mengutamakan diskusi atau musyawarah  (nilai demokrasi) dalam mengambil keputusan, dan bertindak adi lterhadap orang lain (aspek keadilan sosial).

Sudah jelas bahwa “gerakan radikalisme yang berbaju agama” dari segelintir orang “bertentangan” dengan nilai-nilai luhur bangsa (nenek moyang kita) yang terkristalisasi dan terdokumentasi secara rapi dalam Pancasila. Faktap erbedaan tidak menjadi sumber bencana bagi para leluhur kita. 

Sebaliknya, realitas kemajemukan itu dilihat sebagai modal atau  asset dalam menenun benang kehidupan sosial yang bermutu. Semboyan “bhineka tunggal ika”, berbeda-beda tetapi satu, tidak sekadar retorika, tetapi dihayati secara tulus dan konsiten.

 Kendati demikian, kita tidak boleh tenggelam dalam “lautan nostalgia dan romansa” masa lalu. Situasi Indonesia saat ini menurut para analis sosial sangat “mencemaskan” sebab diterpa oleh badai darurat radikalisme-terorisme. Paham radikal sudah menyusup masuk kewilayah yang paling vital dalam stratifikasi sosial, yaitu keluarga. Institusi pendidikan formal mulai dari TK hingga PT juga ditengarai sebagiannya sudah “terpapar” ideology radikal.Tentu, efeknya terlampau besar jika para remaja (generasi muda) kita terinfeksi ‘virus radikalisme” ini.

Kembali ke Pancasila: Sebuah Imperasi Etis-profetis

Tesis dasar saya dalam tulisan ini adalah pudarnya “daya internalisasi dan implementasi” terhadap nilai-nilai dalam Pancasila menjadi penyebab “lahirnya” aneka kemelut sosial-politik yang mendera “tubuh NKRI”. Berbagai krisis yang menghantam “biduk keindonesiaan” sangat mungkin dipicu oleh ‘fenomen terkikisnya’ roh kebangsaan yang telah menjadi ‘payung ideologis’ dalaml intasan dan dinamika sejarah berbangsa.

Oleh karena itu, diskursus untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam praksis berbangsa, tidak hanya relevan tetapi juga sangat kontekstual dan mendesak saat ini.Pada level nasional, Presiden Joko Widodo telah memperlihatkan “komitmen politik” yang serius dalamu paya “menyelamatkan bangsa” melalui pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Badan ini merupakan pengembangan lanjutan dan institusionalisasi dari Unit Kerja Presiden tentang Pengamalan Ideologi Pancasila.

Fokus perhatian penulis adalah bagaimana menumbuhkan kepeduliandan rasa cinta kita terhadap Pancasila. Kita didorong untuk membaca konteks dan trend politik baik di tingkat nasional maupun pada level lokal. Kabupaten Manggarai Barat umumnya dan Labuan Bajo khususnya tentu tidak luput dari “kepungan pengkerdilan” kehidupan bernegara sebab kita “tak mau bernaung” di bawah rumah spiritual, Pancasila.

Beberapa pertanyaan reflektif bisa diajukan di sini. Apakah perilaku kita sudah mencerminkan atau memantulkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Apakah nilai ketuhanan (praksis keagamaan), kemanusiaan, rasa persatuan, demokrasi, dan nilai keadilan sosial sudah dipelajari dan diterapkan secara baik dalam kehidupan konkret kita? Seberapa besar “rasa ketertarikan” kita dalam membahas Pancasila dan berusaha mengamalkannya dalam hidup nyata?

Penulis ingin membetot perhatian kita pada isu yang sedang hangat diperbincangkan publik saat ini, yaitu aksi radikalisme-terorisme. Labuan Bajo dan sekitarnya sangat “potensial” menjadi incaran para teroris untuk “mengibarkan panji ideologi sektarian” yang bisa “mencederai’ jalinan persatuan dan persaudaraan yang kita bina selama ini. Apakah kita sudah “menyiapkan senjata khusus” untuk menangkis serangan kaum teroris berupa penyebaran paham radikal secara massif?

Benteng utama kita adalah Pancasila. Dalam dan melalui pembelajaran dan pendalaman yang serius terhadap nilai-nilai Pancasila, “tembakan peluru” kaum radikal sulit tembus ke jantung kepribadian kita. Karenanya, mari kita kembali ke pilar utama kebangsaan tersebut (back to Pancasila. Pancasila adalah ideologi yang tepat dan selaras dengan “kontur politik” NKRI yang majemuk dan multikultural.

Pancasila sudah terbukti dan teruji sebagai ideologi yang kokoh dan terpercaya. Kendati ditentang dan ditendang berkali-kali dalam lipatan sejarah, Pancasila tetap eksis.Tesis para teoretisi sosial bahwa ideologi telah mati (the end of ideology), tak berlalaku untuk Pancasila. Program penguatan dan revitalisasi terhadap ideologi ini semakin gencar digalakkan. Tidak ada cara yang lebih efektif untukselamatkan “masa depan sejarah Indonesia” selain upaya “rehabilitasi” terhadap makna dan citra Pancasila sebagai “fundamen perekat” bangsa yang plural ini.

Kita semua, mempuyai kewajiban etis-profetis untuk “menyelamatkan Indonesia” dari serangan kaum ekstremis yang bernafsu “memberangus mutiara bangsa yang sangat beragam ini. Poroyek homogenisasi ideologi kaum radikal tak bakal melaju jika kita “bersatu” untukbernazar: say no to ideologi radikalisme. Pancasila tetap menjadi “rumah spiritual bangsa” untuk selamanya.


Sil Joni,
pemerhati masalah sosial dan politik,
Tinggal di Watu Langkas, Desa Nggorang.

Previous article
Next article

Leave Comments

Post a Comment

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel