Ads Right Header

Ada Cinta di Segun, Papua Barat


Pengalaman adalah guru terbaik
Nahkoda Perahu, di tengah pelayaran menuju Segun, Kampung Wainlabat, Papua Barat.

Satu hal yang saya kagumi dari desa adalah alam. Kalian boleh tidak sepakat dengan saya, tetapi alam adalah jantung dari sebuah desa. Saya percaya itu! Pepohonan yang tumbuh dan membentuk kumpulan-kumpulan hijau membingkai indahnya alam desa. Sungguh menakjubkan. 

Wainlabat, sebuah desa yang terletak di Kabupaten Sorong tepatnya di Distrik Segun berhasil membuat saya jatuh cinta berkali-kali. Desa dengan alam yang syahdu dan permai menyejukkan hati saya ketika pertama kali mengunjungi tempat ini. Kesunyiannya sejenak membuat saya seketika membenci hiruk-pikuk kota.

Minggu Adven pertama, kesempatan berahmat itu datang. Berawal dari ajakan P. Melky Kisa, SVD, Pastor Paroki St. Fransiskus Makbusun, saya diberi kesempatan untuk bersama beliau mengunjungi salah satu stasi yang merupakan bagian dari wilayah Paroki Makbusun yakni, stasi St. Theresia Wainlabat, Distrik Segun, Kabupaten Sorong.

Stasi ini terletak cukup jauh dari pusat Paroki. Boleh dibilang, ia bersembunyi pada sudut terpencil Kabupaten Sorong, Papua Barat. Jarak tempuh menuju ke stasi ini memerlukan waktu sekitar 4-5 jam pejalanan. Dan kita mesti melewati perjalanan menantang. 

Di darat, kita menapak pada jalan yang hanya berlabur pasir, yang juga tak luput dari lubang menganga sana-sini. Setelah melewati jalan darat (sekitar 2 jam dari ibu kota Kabupaten Sorong), kita juga mesti melewati lika-liku sungai dengan perahu. Samping kiri-kanan sungai diramaikan dengan tumbuhan Bakau. Menantang, sekaligus memanjakan mata.

Perjalanan yang cukup lama dengan medan yang menantang, serentak membuat saya berkali-kali mengucapkan sesuatu yang barangkali hanya dimengerti oleh saya sendiri. Mungkin kalian boleh menyangsikannya sebagai doa. Tetapi saya tidak terlalu fokus dengan hal itu, sebab dalam kamus seorang Traveller, pengalaman pertama selalu mampu melumpuhkan kata-kata dan kecemasan. Dan untuk itu, mata saya tidak henti-hentinya merekam semua keindahan dan menyimpannya dalam kekaguman perjalanan.

Setelah berjam-jam “mabuk” dalam keindahan perjalanan darat dan sungai, perahu yang mengantar kami melalui seluk-beluk sungai tiba di desa Wainlabat. Sebuah papan selamat datang dengan tulisan “Damai itu Indah” menyambut kedatangan saya rombongan.
 
Papan ucapan selamat datang yang terpajang di pintu gerbang Kampung Wainlabat, Papua Barat.
Suasana alam dengan hutan yang masih jauh dari “tangan-tangan nakal” menambah anggunnya desa ini. Setelah kurang lebih 20 menit berjalan menapaki tangga kayu yang tersusun rapih, saya tiba di sebuah pemukiman kecil dengan beberapa rumah yang sudah tidak berpenghuni lagi.

Aura kesunyian yang begitu kental membuat hati saya sedikit cemas akan kehidupan para penghuninya. Namun, kesangsian saya mulai perlahan-lahan memudar ketika bersalaman dengan beberapa pemuda yang sedang duduk bercerita tentang masa ‘keemasan’ mereka. Rasa hormat dengan sedikit sikap lugu orang-orang desa ini membuat saya berani untuk menarik kesimpulan awal saya.

Umat di stasi Wainlabat hidup dalam kesederhanaan. Tidak ada sesuatu yang mewah selain alam yang begitu istimewa bagi mereka. Mereka percaya, di tempat ini Tuhan telah menyediakan semuanya. Mereka yakin bahwa “Amin yang terbuat dari Iman membuat mereka merasa Aman.” Melihat situasi yang demikian saya merasa begitu damai dan tentram berada di tempat ini.

Kehidupan orang-orang di desa ini begitu damai. Sungguh begitu damai. Nilai toleransi dan kebhinekaan begitu nampak dan hidup di antara mereka. Dari beberapa umat yang saya temui, ada yang bercerita dan mensharingkan pengalaman hidup bersama saudara-saudari dari Protestan dan Islam.

Mereka hidup saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Hal itu mereka tunjukkan melalui saling menyapa dan bersalaman ketika saling bertemu di rumah atau saat berpapasan di jalan ketika hendak ke kebun atau pergi berburu.

Respek positif satu sama lain pun menyata dalam kehidupan sehari-hari. Di saat saudara-saudari beragama lain yang sedang merayakan hari raya agama mereka, maka umat Katolik akan memberikan bantuan dan saling mengunjungi satu sama lain guna bersillahturahmi. Begitu pun sebaliknya pada saat hari Natal, umat Muslim memberikan ucapan selamat kepada umat Nasrani. 

Sungguh luar biasa! Perbedaan bukan alasan bagi mereka untuk membenci, apalagi mengharamkan satu sama lain, tetapi suatu kekayaan yang terus dipertahankan.*


Only Manu
Tinggal di Seminari Petrus van Diepen, Aimas - Sorong - Papua Barat. 
Previous article
Next article

Leave Comments

Post a Comment

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel