Budaya
Cerita Ibu Feli dan Refleksi Pembangunan
Ibu Feli (kaos berkerah) pose bersama orang tua wali dan peserta didiknya, usai menginformasikan kabar kelulusan siswinya, Kamis (11/06/2020) |
Selama Indonesia diguncang pandemik virus korona, aktivitas dalam
dunia pendidikan mempunyai potongan kisah unik, serentak memprihatinkan.
Kebijakan “sekolah dari rumah” selama pandemik seakan membuka tabir “ketimpangan”
pembangunan di negeri ini.
Di kota-kota besar, seperti kota-kota di Pulau Jawa yang
bergelimang jaringan telkomsel, kebijakan “sekolah dari rumah” niscaya berjalan
efektif. Peserta didik yang melek teknologi dan terbiasa berselancar dalam
dunia siber, tentu menyambut baik konsep “sekolah dari rumah” selama pandemik.
Demikian, para guru yang “dikempung” berbagai jaringan
teknologi, tentu juga tidak mempunyai kesulitan dalam menjangkau peserta didik
yang tersebar di setiap pelosok kota.
Sementara di bagian lain Indonesia, seperti di Pulau Timor dan
Flores, Nusa Tenggara Timur, pada umumnya, dan pelosok Kab. Manggarai Barat,
khususnya, kegiatan “sekolah dari rumah” mempunyai tantangan yang maha berat.
Para guru di pelosok Kabupaten yang fokus pada pengembangan
pariwisata super premium ini misalnya,
mesti menyiasati kebijakan “sekolah dari rumah” di tengah keterbatasan jaringan
dan kedangkalan peserta didik terkait penggunaan teknologi.
Peserta didik di pedalaman sebagian besar “gagap teknologi”.
Mereka jarang menggunakan HP yang nota bene adalah instrumen utama dalam konsep
“sekolah dari rumah”. Pemanfaatan aplikasi “ruang guru”, apalagi. Faktor
kelangkaan penggunaan HP ini, selain karena himpitan ekonomi, juga karena
kemiskinan jaringan telkomsel.
Para guru di pedalaman pun melompat ke luar dari konsep
“sekolah dari rumah” yang sebenarnya. Yang mana, dalam konsep itu, diaktifkan sekolah
oline dengan pemanfaatan teknologi. Peserta didik dan pendidik sama-sama
berselancar dalam dunia maya. Memanfaatkan berbagai aplikasi edukatif, seperti
aplikasi zoom, aplikasi Ruang Guru; dan pengiriman bahan ajar dan tugas melalui
WhatsApp, email, dan berbagai instrumen belajar/sekolah online lainnya.
Para guru di pedalaman mempunyai keterbatasan dan tantangan
dalam memanfaatkan instrumen teknologi itu. Hal ini dikarenakan oleh “krisis”
jaringan, juga karena keterbatasan pengetahuan dan kecakapan siswa dalam menggunakan
teknologi.
Karena itu, para guru di pedalaman rela menguras tenaga, bertapak
menuju kediaman peserta didik. Menyambangi peserta didik di kampung-kampung, di
rumah-rumah, misalnya. Mereka rela bertampak pada jalan berlubang, beralaskan
kerikil demi menjangkau peserta didik.
Cerita Ibu Feli
Ibu Feli (tanpa jilbab) menerobos rintikan hujan, dalam perjalanan menuju rumah peserta didiknya, Kamis (11/06/2020) |
Ibu Felisitas Colbi Anur, S.Pd misalnya. Seorang guru muda
pada SMP Muhammadiyah Cereng, Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang,
Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Dia rela berpetualangan dari kampung ke kampung,
dari rumah ke rumah untuk menginformasikan kabar kelulusan enam peserta didik
mereka.
Dalam kisahnya, guru kelahiran 7 Maret 1992 ini dimandatkan
oleh Kepala SMP Muhammadiyah Cereng, Supardi Bung, S.Pd untuk menginformasikan
berita kelulusan peserta didik kelas IX, Kamis (11/06/2020).
Dia dinstruksikan untuk meyambangi para peserta didik
bersangkutan, di rumah mereka masing-masing. Mereka tidak dikumpulkan di
sekolah, karena alasan protokol kesehatan.
Pihak sekolah juga tidak mewartakan kabar kelulusan ini secara
online, semisal melalui sms atau pesan WhatsApp, karena alasan keterbatasan
jaringan telkomsel di daerah itu. Karena itu, seorang guru muda ditugaskan
untuk “berselancar” dari kampung ke kampung, dari rumah ke rumah untuk
mewartakan kabar kelulusan ke-enam peserta didik mereka.
Alumnus IKIP Budi Utomo Malang ini memulai petualangan
edukatifnya pada pukul 10.45 wita dan berakhir pada pukul 17.00 wita. Dia mulai
menyambangi peserta didik di kampung Golo Molas, di Persawahan Mangkeng,
Persawahan Longgo, dan berakhir di Kampung Longgo. Semua perkampungan itu berada
dalam wilayah administratif Desa Golo Sengang, Kec. Sano Nggoang, Kab. Manggarai
Barat, NTT.
Ibu Feli, sebagaimana ia akrab disapa, menelusuri beberapa
kampung tersebut di bawa payungan sengatnya mentari. Dia bertapak sambil menyisihkan
kelelahannya di atas jalan rabatan batu.
Tak hanya dibakar matahari, usai makan siang hujan
mengguyuri wilayah petualangannya. Dia pun tak patah arang. Dengan nekat dan
semangat mudanya, dia menerobos rintikan hujan. Berkorban demi kebahagiaan
peserta didik.
“Mereka mesti bahagia dengan kabar ini. Saya rela
mengorbankan tenaga. Biar aku lelah, asalkan mereka bahagia”, ujarnya kepada media
ini melalui pesan WhatsApp.
Semangatnya memang tak surut dibakar mentari. Tak runtuh
diterpa rintikan hujan. Juga tak terkubur dalam lumpur jalanan. Semangatnya
terus berkobar dan membara. Ia berjalan dan terus berjalan. Tanpa kendaraan. Karena
itu, dalam satu hari dia berhasil menyambangi semua peserta didiknya yang akan
memasuki pendidikan menengah atas itu.
Baginya, terjun langsung ke rumah peserta pedidik ini
merupakan tugas mulia. Bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang guru. “Ini jelas cape. Tetapi, guru [mesti selalu] mengedepankan
tugas dan kewajibannya”, ujarnya via WhatsApp.
Refleksi Pembangunan
Kisah getir yang menawan tersebut di atas mendeskripsikan
situasi di pendalaman, serentak juga semangat para guru di pedalaman.
Di tengah kegenitan pemanfaatan teknologi dalam dunia
pendidikan dewasa ini, sekolah-sekolah di pedalaman niscaya menjadi korban.
Kampanye peningkatan pemanfaatan teknologi di dunia pendidikan kontradiksi
dengan gerak pembangunan.
Geliat pembangunan, terkhusus di wilayah Kab. Manggarai
Barat seakan belum bergerak menuju upaya pembongkaran isolasi berbagai kampung
di pedalaman yang tak punya jaringan. Pemerintah kelihatannya masih sibuk
dengan mengembangkan pariwisata super
premium. Upaya peningkatan pendidikan di pedalaman belum menjadi prioritas.
SMP Muhammadiyah Cereng, Kec. Sano Nggoang, Kab. Manggarai
Barat merupakan salah satu sekolah yang menjadi korban dari gerak pembangunan
itu. Tentu masih banyak sekolah lain. Sekolah yang tersebar di daerah pedalaman
tentunya.
Menariknya juga, adalah gerak pendidikan selama pandemik ini
mewartakan semangat para guru di pedalaman yang krisis jaringan. Mereka seakan
tak pernah menyerah pada keadaan. Cerita Ibu Feli setidaknya merepresentasikan
kisah guru-guru di pedalaman. Mereka lebih memikirkan nasib generasi bangsa daripada
ego mereka sendiri. Sementara para penguasa?
Sekalilagi, kisah ini serentak merepresentasikan cerita-cerita para guru lainnya di pedalaman. Karena itu, seyogiyanya kisah-kisah para formator generasi bangsa ini menjadi salah satu titik pijak dalam perumusan kebijakan dan gerak pembangunan pasca pandemik.
Rudi Haryatno,
Tinggal di Watu Langkas, Desa Nggorang, Kec.Komodo, Labuan Bajo.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment