Religi
Spiritualitas Hamba dalam Terang Magnificat
pixabay.com |
Pilihan judul di atas barangkali
sedikit menimbulkan diskusi, sebab
agaknya terlalu berlebihan apabila menghubungkan kata ‘hamba’ dengan ‘pujian’ yang dilantunkan Maria atau
yang seringkali disebut magnificat.
Ada dua terminologi yang sama sekali
berbeda, tetapi bukan sesuatu yang mustahil jika keduanya dikaitkan satu sama
lain. Fokus penekanan saya dalam tulisan ini adalah semangat seorang hamba yang
dimiliki Bunda Maria dalam pujiannya kepada Allah. Maria memposisikan diri
sebagai makhluk ciptaan Allah yang tak berarti apa-apa di hadapan Sang
Pencipta.
Dengan demikian ketika Maria
mendapatkan anugerah Allah yang istimewa, secara spontan ia mengagungkan Allah
yang telah memprakarsai semua yang terjadi dalam hidupnya termasuk peristiwa
besar yang dipercayakan Allah kepadanya.
Spiritualitas Hamba: dari yang ‘Terbuang’ menuju yang ‘Terpilih’
Dalam tulisan ini terminologi hamba
pertama-tama bukan merujuk pada pribadi yang secara biologis mengalami
ketersiksaan, dan secara manusiawi seorang yang mengalami keterasingan dengan
dirinya, hak hidupnya dicabut, atau bergantung pada orang yang secara absolut
berkuasa atas hidupnya.
Namun hamba dalam konteks ini lebih
kepada pribadi yang memiliki keutamaan hidup seperti kerendahan hati,
kesalehan, kejujuran, ketulusan, iman yang kokoh, peka terhadap realitas
sosial, dan keutamaan lainnya yang membuat orang memiliki kualitas tersendiri
dalam hidupnya. Konteks hamba yang akan saya uraikan ini tentu saja mengarah
kepada sosok Bunda Maria yang kita kenal sebagai makhluk ciptaan Allah yang
istimewa.
Dikatakan istimewa karena ia dipilih
Allah untuk menjadi bunda yang melahirkan Kristus penyelamat kita. dalam buku
Bakti Sejati, St. Montfort menuliskan, Allah begitu terpikat hati-Nya kepada
Maria yang suci dan murni sehingga ia memilih Maria untuk mewujudkan rencana
keselamatan-Nya.
Barangkali inilah salah satu alasan
di balik panggilan Maria sebagai Bunda Allah. Namun sebelum sampai pada
panggilan tersebut, mari kita melihat latar belakang kehidupan Maria. Secara garis
besar kita mengetahui bahwa Maria adalah anak Yoakim dan Hana, sebuah keluarga
kecil yang sangat sederhana di sebuah desa di Nasaret. Maria hidup dalam
lingkungan yang sungguh-sungguh memperhatikan bidang rohani, sehingga tak
mengherankan Maria bertumbuh sebagai seorang yang saleh.
Proses panggilan Maria sebagai ibu
yang melahirkan Putra Allah sebetulnya tidak mudah dan hal itu disadari Maria
sebagai sebuah salib, tetapi ia yakin bahwa Allah akan selalu menyertainya;
meskipun ia tidak mengerti apa yang akan dihadapinya.
Dalam konteks status strata sosial,
Maria tidak lenih dari seorang gadis sederhana yang sama sekali tidak
diperhitungkan.
Dalam uraian ini saya menggunakan
terminologi yang “terbuang” atau yang tersisihkan. Bukan berarti bahwa Maria mengalami
situasi penjajahan sehingga harus dibuang seperti yang dialami oleh bangsa
Israel; tetapi dalam konteks ini terminology terbuang hendaknya dimengerti
sebagai yang tidak diperhitungkan, tidak diperhatikan, dan tidak termasuk
golongan yang berpengaruh di tengah masyarakat. Namun apa yang oleh dunia tidak
diperhitungkan, justru itulah yang dipilih Allah.
Keterpilihan Maria sebagai Bunda
Allah menunjukkan Allah yang berpihak kepada orang sederhana dan miskin. Maria
adalah wakil dari semua orang kecil. Keterpilihan Maria penting dimaknai
sebagai jalan bagi kita yang sedang berziarah di dunia ini. Maria adalah pintu
yang membuka ruang bagi kita untuk menjadi bagian dari rencana keselamatan
Allah.
Magnificat: Ungkapan Iman Seorang Hamba
Kidung pujian atau nyanyian pujian Maria merupakan ungkapan iman dan
sukacita yang berasal dari kedalaman hati; atas dasar pengalaman iman yang
dialami oleh Maria sebagai hamba Tuhan. Jangan lupa bahwa ketika Maria
berdialog dengan malaikat Gabriel, pada bagian akhir dari dialog tersebut Maria
mengungkapkan imannya dengan berkata, aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku
menurut perkataanmu. Dalam uraian selanjutnya saya mengajak kita untuk melihat
sejauh mana kandungan semangat seorang hamba yang dimiliki Maria dalam
Magnificatnya.
Magnificat (Luk.1:46-54)
Lalu kata Maria: “Jiwaku memuliakan
Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku (ayat 46-47). Pujian
Maria berasal dari kedalaman hati dan berangkat dari kesadaran akan peran Allah
sebagai penyelamat dalam hidupnya. Ia percaya bahwa Allah senantiasa
menyertainya, sehingga ia berani menerima tanggungjawab yang dipercayakan Allah
kepadanya.
Sebab Ia telah memperhatikan
kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan
menyebut aku berbahagia (ayat 48). Disposisi batin Maria adalah tak
lain bersukacita. Inilah ungkapan iman seorang hamba yang telah mengalami kasih
Allah yang luar biasa dalam hidupnya. Kerendahan hatinya sebagai seorang hamba
membawa Maria pada relasi yang intim dengan Allah. Ia tidak memegahkan diri,
tetapi selalu tunduk kepada Allah.
Karena Yang Mahakuasa telah
melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus (ayat
49). Panggilan
Maria sebagai Bunda Tuhan disadarinya sebagai suatu peristiwa besar yang
direncanakan Allah dalam hidupnya dan ia menyebutnya sebagai perbuatan yang
kudus. Allah melalui malaikat Gabriel menawarkan rencana keselamatan-Nya
kepada Maria dan dalam rencana keselamatan tersebut, Maria dimintai
persetujuannya untuk menjadi Rahim bagi Putra Allah yang lahir sebagai penebus
dosa manusia.
Dan rahmat-Nya turun-temurun atas
orang yang takut akan Dia (ayat 50). Maria meyakini bahwa rahmat Allah
yang mengalir dalam dirinya tak akan berhenti sampai di situ, tetapi akan
selalu mengalir kepada siapa Allah menghendakinya terutama mereka yang hidup
menurut perintah-perintah-Nya. Maria hendak mengantar putra-putrinya untuk
mengalami rahmat yang sama, tentu saja dengan syarat bahwa teladan hidup yang
ditampilkannya sebagai seorang hamba, juga dihidupi oleh kita yang mau
mengambil bagian dalam sukacita yang dialaminya.
Ia memperlihatka kuasa-Nya dengan
perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya
(ayat 51). Maria melihat Allah sebagai Yang berkuasa dan Allah adalah
adil. Maka hendaknya kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang
congkak hati supaya tidak tertimpa hukuman.
Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari
takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah (ayat 52). Maria
sungguh-sungguh mengimani bahwa Allah berpihak pada orang-orang kecil dan
rendah hati. Mereka yang tidak diperhatikan oleh dunia. Pesannya jelas bahwa
kekuasaan yang diperoleh di dunia ini sama sekali tidak menjamin kebahagiaan
kelak. Maria telah memilih jalan terbaik dengan menjadikan dirinya sebagai
hamba Allah, dengan demikian ia memberi kesempatan kepada kita untuk memilih
jalan yang sama.
Ia melimpahkan segala yang baik
kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa
(ayat 53). Maria mengajarkan kepada kita tentang nilai kepekaan
terhadap realitas sosial. Artinya memperhatikan orang-orang yang mengalami
kesulitan dalam hidupnya, sebab merekalah yang empunya Kerajaan Allah. cara
demikian juga merupakan bagian dari keterlibatan kita dalam melaksanakan karya
keselamatan Allah.
Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia
mengingat rahmat-Nya (ayat 54). Perjanjian Allah untuk membebaskan
bangsa Israel dari penderitannya; hendaknya membangkitkan harapan dalam diri
kita bahwa Allah selalu menimang kita dan menganugerahkan rahmat yang sama
kepada kita.
Seperti yang dijanjikan-Nya kepada
nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya (ayat
55). Maria mengingatkan kita akan perjanjian Allah dengan
Abraham dan keturunannya termasuk kita. intinya adalah Maria mau menonjolkan
sifat Allah yang setia terhadap janji-janji-Nya.
Dalam magnificat ini, Maria bukan hanya tampil sebagai hamba
dan orang kecil,tetapi
menjadi typosnya. Orang kecil adalah gambaran orang-orang saleh dan takwa.
Di satu sisi, mereka sungguh sadar akan kemiskinannya dan
akan ketidakberdayaannya menghadapi kesulitan atau penderitaan; di sisi lain
mereka sungguh percaya bahwa Allah pasti menolong dan menyelamatkan mereka yang mengandalkan
Dia semata-mata. Maria tidak memuji Allah untuk kepentingannya sendiri, tetapi
juga menjadi perantara dari kelompok orang yang mengalami kesusahan, penderitaan dan
penindasan.
Peziarahan kita sebagai anak-anak
Allah tidak terlepas dari peranan Bunda Maria. Maria telah lebih dahulu
menghayati imannya kepada Allah dengan memposisikan diri sebagai seorang hamba;
yang siap dipakai oleh Allah seturut kehendak-Nya.
Kenyataan ini mestinya membangkitkan
iman, harapan, dan optimisme bahwa melalui Maria, Allah juga akan melimpahkan
kepada kita rahmat-rahmat-Nya. Maria memilih jalan terbaik lewat keutamaan
hidupnya, ia telah mendapatkan tempat yang istimewa. Hal ini bukan berarti
bahwa Maria berhenti menjadi perantara kita, justru dengan posisinya yang
istimewa itu ia senantiasa memelihara putra dan putrinya untuk mengikuti jalan
yang sama yang telah dilaluinya.
Christo Garnodin
Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment