Ads Right Header

Relevansi Moralitas Kant bagi Pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah

pixabay.com


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup.

Dari pemahaman tersebut, kata moral lebih merujuk pada suatu wejangan, batasan, atau klasifikasi kaidah-kaidah hidup manusia baik lisan maupun tulis tentang bagaimana manusia bertindak dan menjadi pribadi yang baik.

Dewasa ini nilai moral dan pendidikan budi pekerti dilihat sebagai landasan afirmatif bagi perkembangan mentalitas anak. Namu, dalam kenyataannya, pelajar justru mengabaikan hal tersebut dan melakukan tindakan yang menyimpang.

Penulis juga mengafirmasi pendidikan budi pekerti sebagai dasar dalam mengatur kepribadian manusia terutama pada konteks sekolah. Pendidikan budi pekerti merujuk pada suatu ajaran tentang tingkah laku, akhlak, watak, dan perangai.

Akhir-akhir ini para siswa kehilangan orientasi, sebut saja virus mental yang mereduksi perkembangan kepribadian siswa (Pos Kupang, 2017). Pelajar melakukan aksi pemukulan terhadap guru. Tindakan kriminal seperti ini sangat massif terjadi di sekolah.

Dalam tulisan ini, penulis lebih menyoroti aksi pemukulan yang dilakukan oleh pelajar terhadap gurunya. Kenyataan miris tersebut mesti ditanggapi secara serius agar tidak menjadi sebuah aksi yang ditempuh oleh pelajar setiap kali berusaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu yang sebenarnya bisa diselesaikan secara damai melalui pelaksanaan dialog.

Moralitas dan pendidikan budi pekerti harus memperlihatkan eksistensinya dalam dunia pendidikan dan mesti berperan sebagai instrumen menuju progresivitas kehidupan para pelajar.

Sekolah sebagai sebuah institusi mesti berusaha menampilkan dirinya yang selalu berjuang melaksanakan misi pemanusiaan manusia melalui nilai moral dan pendidikan budi pekerti.

Atas dasar itu, diskursus tentang moralitas dan pendidikan budi pekerti sebagai basis yang kuat untuk mengarahkan tingkah laku dan akhlak pelajar yang menyimpang menuju pelajar yang bermoral dan berakhlak baik, menjadi sebuah kebutuhan yang urgen dalam ranah pendidikan.

Moralitas Menurut Kant

Bagi Kant, moralitas adalah kesesuaian sikap dan tindakan dengan norma atau hukum batiniah yang merujuk pada perspektif sebagai kewajiban (Matias Daven, diktat perkuliahan). Kant membedakan moralitas menjadi dua yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom.

Moralitas heteronom adalah suatu sikap di mana kewajiban dipatuhi dan dilaksanakan bukan karena sesuatu berasal dari kehendak si pelaku sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal di luar kehendak pelaku. Moralitas heteronom membuat seorang individu gagal menjadi pribadi yang bebas dalam mengaktualisasikan diri dan potensinya di dalam kehidupan bersama.

Moralitas otonom adalah suatu kesadaran manusia perihal kewajiban yang ia patuhi sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai sesuatu yang sangat baik. Dalam domain moralitas otonom, setiap orang tentu mengikuti dan bahkan menerima hukum lahiriah bukan sebagai hal untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau takut pada sang pemberi hukum.

Bagi Kant, moralitas otonom adalah suatu prinsip tertinggi yang tidak terlepas dari kebebasan. Kebebasan dilihat sebagai yang paling dasar dari sebuah tindakan rasional.

Dalam konteks ini, Kant juga menyuguhkan dua macam perintah, yaitu imperatif hipotesis dan imperatif kategoris.

Imperatif hipotesis adalah perintah yang bersyarat, yang berlaku secara umum. Perintah ini lebih mengarah pada sarana atau syarat untuk mencapi sesuatu dengan formulasi “jika-maka”.
Berbeda dengan imperatif hipotesis, imperatif kategoris adalah perintah mutlak yang berlaku secara universal.

Kant lebih menekankan aspek imperatif kategoris yang mengarahkan orang untuk bertindak sesuai dengan nilai moral, sebab imperatif kategoris menjadi prinsip utama yang menjadi sebuah keharusan atau mewajibkan semua orang bertindak secara moral.

Kant hanya percaya pada hukum imperatif kategoris sebagai kewajiban atau kehendak baik yang lahir dari hukum batiniah. Tingkah laku yang baik harus lahir dari perintah batiniah menuju kehendak baik yang bermoral.

Relevansi Moralitas Kant bagi Pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah

Pada hakikatnya, pendidikan budi pekerti tidak terlepas dari kehidupan manusia. Keseimbangan pengertian merujuk pada kebutuhan dan aspek perkembangan manusia baik kognitif, sifat, dan karakter. Pendidikan budi pekerti sudah berada pada taraf pendidikan rendah dan proses yang terus-menerus sampai pada jenjang pendidikan menengah.

Substansi pendidikan budi pekerti memberikan konstruksi pada perkembangan pribadi manusia yang mengarahkan orang pada tingkah laku yang baik. Semua aspek perkembangan kehidupan manusia termuat dalam pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti selalu mendorong orang untuk bertindak sesuai dengan nilai moral.

Tiga pelajar SMA melakukan sebuah aksi pemukulan terhadap guru, dengan kronologi peristiwa sang guru menegur ketiga siswa tersebut karena belum mengisi absen kelas. Karena tidak menerima teguran guru, ketiga siswa tersebut memukul guru bahkan hingga terjatuh (Kompas.com, 2020).

Tindakan seperti ini merupakan tindakan yang menyimpang dari esensi nilai moral terutama nilai pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak pendidikan rendah. Peristiwa tersebut juga dikategorikan sebagai sebuah aksi spontanitas yang tidak ada pertimbangan hati nurani atau akhlak dan rasionalitas.

Artinya, tindakan tersebut bukan kehendak hukum batiniah atau berdasarkan pada nilai moral. Namun, ketiga siswa tersebut memiliki orientasi yang menyimpang yaitu tidak mau ditegur jika berbuat kesalahan atau mau hidup tanpa aturan.

Berdasarkan penjelasan moralitas menurut Kant, aksi ketiga siswa tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak bermoral. Seorang guru menegur siswa dengan tujuan agar tingkah laku tersebut tidak menjadi kebiasaan dan merusak tata tertib sekolah. Tetapi, ketiga siswa tersebut terdorong oleh nafsu kebebasan yang tidak beraturan atau tidak mau ditegur.

Agar keluar dari situasi menyimpang seperti yang sudah diuraikan di atas, prinsip-prinsip moral mesti disosialisasikan secara terus menerus dan dihayati secara efektif dalam lingkup sekolah.

Siswa harus memiliki kesadaran diri tentang kewajiban yang mesti dipenuhi dan melakukan sesuatu harus berdasarkan kewajiban karena ada dorongan dari hati yang tulus untuk melakukan kewajiban bukan atas dasar kepentingan pragmatis, melainkan semata-mata karena kewajiban sebagai kewajiban.

Kant menganjurkan setiap orang harus berjalan pada koridor moral sebagai acuan mutlak dalam menjalani hidup sebagai manusia terutama sebagai siswa. 

Pendidikan budi pekerti dan moral harus sejalan dalam rangka menata kehidupan para siswa yang selalu memiliki potensi untuk menyimpang. Relevansi kedua unsur tersebut sangat massif dalam mendorong manusia untuk tetap berjalan pada koridor budi pekerti dan moral.

Pendidikan budi pekerti sangat mendorong manusia untuk bertindak sesuai dengan hukum batiniah sehingga manusia tetap berjalan pada koridornya. Di sisi lain, Kant memberi indikasi mutlak sebagai pengatur tingkah manusia yang menyimpang yaitu moral. Moralitas menurut Kant bertugas untuk menilai tindakan manusia itu baik atau buruk.

Eksistensi pendidikan budi pekerti dan moral tidak boleh dipandang sebelah mata karena landasan mutlak dalam mengatur tata kehidupan manusia yang menyimpang terutama siswa yang bertindak memukul guru. Pendidikan budi pekerti dan moral menuntut adanya nilai pembelajaran dan pembatasan bagi kehidupan manusia yang acapkali bertindak tidak sesuai nilai kehidupan. 




Tarsy Dasor,
Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores - NTT.
Previous article
Next article

Leave Comments

Post a Comment

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel