Cerpen
Sastra
Danau Penantian
Ilustrasi, pixabay.com |
Pelita alam sudah meredup. Bumi
didekap gulita malam. Hawa senja mengelus mesra, menyapa penghuni semesta. Dewi
malam mulai beraksi menebarkan senyum dan keanggunannya.
Sementara itu, sepasang anak
manusia masih melangkah gontai di jalan berbatu di bawah lindungan pohon
mahoni. Tangan mereka seakan terikat. Bercengkeraman dengan begitu kencangnya.
Enggan untuk dilepaskan.
Sesekali terdengar suara
rintihan karena kaki terantuk batu. Maklum, gelap kian merajai malam. Sinar
rembulan terhalang dedaunan untuk menyoroti langkah mereka.
"Kapan kamu melamarku?"
tanya Merlan sedikit menoleh.
Merlan, demikianlah nama
kuntum berambut panjang itu. Yang menjadi rebutan laki-laki sekampungnya. Dia
adalah bunga yang mempesona. Hampir semua warga kampung menyetujui hal itu.
Di balik paras eloknya, dia
juga gadis yang rendah hati dan murah senyum. Banyak pria dengan tingkat status
sosial yang berbeda-beda tergila-gila padanya. Baik mereka yang berpendidikan
tinggi maupun pegawai kantoran. Tapi Merlan hanya menaruh rasa pada seoranng
pria. Pria biasa yang hidupnya sederhana. Itulah yang membuat penggilanya
memikul sakit hati.
Pria di sampingnya sontak
menoleh. Dia berusaha untuk tetap santai.
"Sabar sayang. Nanti
aku pasti melamarmu." Jawab Dorus, si pria berperawakan tinggi, berkumis
tipis, dan berambut ikal dengan senyum meyakinkan.
Dorus adalah pemuda tampan
yang tinggal seoarang diri. Tak sedikit gadis di desa yang ingin
dipersuntingnya. Merlan adalah salah satunya. Sehari-hari dia mengurus tambak
ikan peninggalan almarhum orang tuanya. Dari situ pula ia mencukupi kehidupannya.
"Kapan?" Merlan
bertanya kembali.
"Nanti, setelah Tuhan
mengizinkan," timpal Dorus sambil perlahan mengelus rambut Merlan sembari
tersenyum kearah kuntum di sampingnya. Merlan tak bertanya lagi. Membisu.
Langkah keduanya berhenti di
sebuah rumah papan dekat persimpangan jalan. Merlan mengetuk pintu. Tak lama
kemudian seorang ibu paruh baya muncul dari balik pintu.
"Bu, saya antar Merlan
pulang," kata Dorus.
"Nak Dorus tidak mau
mampir dulu?"
"Lain kali saja bu.
Terima kasih," jawab Dorus sambil tersenyum.
"Baiklah. Lain kali
harus mampir ke rumah ibu. Walaupun hanya menikmati kopi racikan nak Merlan,"
lanjut wanita yang merupakan ibu Merlan tersebut.
"Baik, bu. Saya pamit,"
timpal Dorus sambil menghilang di balik keremangan malam.
Ibu Merlan mengantar Dorus
dengan senyum ramahnya. Giginya yang merah karena sirih pinang keluar dari
persembunyiannya. Selama perjalanan, pikiran Dorus membadai mengingat
pertanyaan Merlan tadi. "Kapan kamu melamarku?" Pertanyaan tersebut
membuatnya tak bisa nyenyak malam itu.
Hari-hari dilalui Dorus
dengan pertanyaan besar dalam benak. Pertanyan tersebut mengganggu
aktivitasnya. Seringkali ia kehilangan konsentrasi dalam pekerjaannya. Tapi
tidak demikian dengan Merlan. Ia santai sembari menunggu kepastian dari sang
belahan jiwa.
Keesokan harinya, mereka
kembali menuai temu. Kali ini di bibir danau dekat balai desa. Dorus bertumpu
di sebatang pohon kelapa. Sementara Merlan di sampingnya, melingkarkan
lengannya di pinggang Dorus, sambil menjatuhkan kepalanya ke bahu berotot di
sampingya itu. Sesekali terdengar bunyi "bluk." Suara batu yang dilempar
Dorus ke danau. Gelombang kecilpun tercipta, mengantar seekor semut ke tepi
danau. Sesekali, riak air membelah kesunyian danau.
Dorus dan Merlan membisu
seribu satu kata. Tak satupun bersuara. Merlan melempar senyum kepada Dorus.
Dorus membalasnya. Saat Dorus hendak megecup kening Merlan, tiba-tiba,
"bukh!" Suara kelapa jatuh tepat dibelakang Dorus. Hampir mengenai
kepalanya.
Spontan Merlan menjatuhkan
diri ke pelukan Dorus. Dia kaget dan ketakutan setengah mati. Apalagi ketika
mengingat cerita orang-orang kampung tentang hal mistis yang terjadi di
sekitaran danau. Peluknya pun semakin erat. Sontak membuat Dorus kaget. Rongga
dadanya terasa hampa. Walaupun akhirnya dia tersenyum sembari melingkarkan
lengannya ke pundak Merlan.
Gagal memberi kecup, tapi
menuai peluk. Dia mengepalkan tangannya ke atas dan berkata "Yess!"
Dia tak kuasa menahan ingin berselebrasi ala
Heung Min Son, bintang asal Korea Selatan yang menjadi kebanggaan Totenham
Hotspur itu. Dorus menang banyak. Pikirannya melayang. Dia berdoa semoga semua
kelapa yang tersisa di atas pohon terjatuh lagi. Pasti Merlan tak akan melepas
pelukannya. Dasar Dorus.
Saat adzan magrib
berkumandang, keduanya beranjak pulang. Temaram cahaya langit sore menyelimuti
hati keduanya. Sepanjang perjalanan, keduanya tersenyum lebar. Sesekali beradu
pandang sambil menyulam senyum.
Malam itu ada sedikit
perbedaan di rumah Merlan. Dorus menghiasi suasana santap malam mereka. Tapi
Dorus bukanlah sosok baru dalam keluarga tersebut. Dia sering menyambangi
Merlan ke rumahnya. Dia sangat akrab dengan keluarga sang bunga hati. Namun
sama seperti Merlan, orang tuanya juga menunggu kepastian dari Dorus.
Tak kunjung mendapat
kepastian dari tambatan hati, Merlan pun memutuskan untuk hijrah ke ibu kota,
berniat mencari pekerjaan. Setelah mengantongi restu dari kedua orang tua, dia
pun meninggalkan tanah kelahirannya. Ia pergi tanpa sepengetahuan sang kekasih
hati.
Sepeninggalan Merlan, Dorus
kebingungan. Ia tak lagi bersemangat setiap harinya. Badan kekarnya pun mulai
kelihatan kurus karena kurang tidur. Makan pun seakan menjadi musuh bagi Dorus.
Maklum, Dorus menanggung
rindunya sendiri. Rindu yang teramat hebatnya. Bukan tanpa alasan. Karena
kepergian sang bunga hati yang tak mengabarinya. Dia bertanya kepada orang tua
Merlan tentang keberadaan gadis mereka. Tapi mereka lebih memilih menutup mulut,
sesuai pesan Merlan.
Tujuh bulan sudah, Merlan
dan Dorus tak bersua. Merlan kini telah bekerja pada seorang juragan muda.
Seiring berjalannya waktu, dia mendapatkan perhatian lebih dari sang bos karena
kebaikan dan keterampilannya. Dia diperlakukan bak ratu oleh semua karyawan di
tempatnya bekerja. Itulah yang membuat ia melupakan Dorus dengan mudahnya.
Sementara Dorus, masih
menyimpan rindu yang mendalam untuknya. Di kota, Merlan menikah dengan bosnya.
Kehidupannya pun berubah drastis. Segala sesuatunya serba berkecukupan.
Tidak demikian dengan Dorus
yang selalu setia menunggunya pulang. Walaupun banyak gadis yang mencoba
mendekati, tapi Dorus tetap percaya bahwa sang bunga hati pasti pulang. Setiap
hari dia menunggu Merlan di tepi danau tempat mereka dulu membikin janji.
Seperti biasanya, sembari ia melemparkan batu ke dalam air. Tapi sekarang
tatapannya kosong tanpa Merlan menemani.
***
"Sama seperti
kemarin.
Aku masih di sini.
Bersama lirih dan
jiwa yang merintih.
Menggenggam
kegelapan,
Menunggu keajaiban.
Menunggu kelulusan
dari ujian penantian."
***
Kebahagian merlan tak
berlangsung lama. Baru sebulan pasca menikah, suaminya mengalami kebangkrutan.
Ia dan suaminya terpaksa harus hidup melarat.
Tidak lama setelah bangkrut,
nasib naas menimpa suaminya. Dalam perjalanan ke luar kota, bus yang ditumpangi
suaminya terbalik di sebuah tikungan tajam. Diduga karena bus melaju dalam
kecepatan tinggi. Tiga orang meninggal, dan salah satunya adalah suaminya.
Sudah jatuh, tertimpa tangga
pula. Itulah pribahasa yang tepat untuk Merlan. Hidupnya kian melarat. Sebatang
kara di tengah ganasnya ibu kota. Tak ada lagi yang diandalkan setelah
kepergian sang suami. Namun dia mencoba bertahan. Dia berusaha menjadi karang.
Hari demi hari, bulan demi bulan hingga tahun pun berganti. Dia tetap tegar.
Tujuh tahun berlalu. Dorus
dan Merlan tak saling kabar. Seakan kedunya lenyap ditelan bumi. Selama tujuh
tahun, Merlan berjuang menyambung hidup. Sementara Dorus, tujuh tahun
dihabiskan untuk menunggu kabar sang kekasih.
Selama tujuh tahun itu juga,
Dorus terus menyambangi tempat dulu mereka mengikat janji. Tak seharipun
terlewatkan. Ia percaya bahwa Merlan pasti datang menemuinya di tempat yang
sama.
Penduduk desa mengatainya gila. Tak sedikit anak-anak yang mengejeknya.
Bayangkan betapa besar kesetiaan Dorus terhadap bunga hatinya. Dia tetap menanti
sang tambatan hati yang telah menduakan cintanya.
***
Penantian Dorus tak sia-sia.
Suatu hari, ia melihat seorang gadis berdiri di pinggir danau. Gadis berparas
elok itu duduk di bawah pohon kelapa. Tepat saat ia mengucap janji dengan bunga
hatinya yang tak kunjung pulang. Tanpa ragu ia mendekati wanita itu dan dia
memanggilnya.
"Merlan?"
Wanita itu menoleh. Rambut
panjang terurai itu tersibak angin. Rupa ayunya semakin terlihat jelas,
meskipun senja kian temaram. Senyum tipis melengkung di balik rona bibirya.
Membuat dada Dorus berontak dengan kencangnya. Namun apalah daya, ketika
ternyata dia bukanlah wanita yang ia ditunggu. Wajahnya menunduk lesu. Ia
membalikkan punggungnya dan menghilang begitu saja.
Matahari sudah berpamitan
pada bumi. Bulan sudah nampak bertengger di kaki langit. Seperti biasa Dorus
kembali ke tepi danau demi menunggu tambatan hatinya pulang. Petang berganti
malam. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik dan jeritan binatang malam
lainnya.
Dorus bergegas meninggalkan
danau. Ketika hendak berbalik badan, Dorus dikejutkan oleh suara yang lembut
memanggil namanya. Ia menoleh. Ia terperangah ketika mendapati kekasih hati
yang kian lama menghilang berada di hadapannya. Ia tak percaya begitu saja.
Karena Merlan sedikit berubah.
Namun, ketika Merlan
menjatuhkan diri ke pelukkannya, ia percaya. Ia merasakan sama seperti ketika
Merlan pertama kali memeluk dirinya. Sekalipun Merlan pernah menjanda, Dorus
tetap menerimanya penuh suka cita. Toh, mereka juga belum memiliki anak. Kata
Dorus dalam hati.
Sekarang, penantian Dorus
selama tujuh tahun tidak sia-sia. Bunga hatinya yang selama ini menghilang
kembali menemuinya. Sayangnya, dia tak lagi mekar seceria dulu. Sedikit lunglai
karena tak ada yang merawatnya. Dorus merengkuh Merlan dalam peluknya. Dengan
tekad hati, dia melamar bunga hatinya. Dalam hati dia berjanji untuk memekarkan
si bunga hati dengan segala kencantikannya.
***
"Aku,
Pernah
tertikam cinta.
Sering
dihempaskan badai rindu.
Tapi
aku tetap berdiri.
Atas
nama cinta, aku memilih setia."
Wandro
Julio Haman,
Mahasiswa Sastra Inggris pada Universitas Wijaya
Putra Surabaya.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment