Budaya
Selebrasi Akhir Tahun, antara Pelestarian Budaya dan Peledakan 10.000 Petasan
Tarian Caci di halaman Kampung Roe, Desa Cunca Lolos, Kec. Mbeliling, Kab. Manggarai Barat, Senin (30/12/2019). (Foto, yrh) |
Di
penghujung tahun 2019, tepatnya pada 29 dan 30 Desember 2019, warga kampung Roe,
Desa Cunca Lolos, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarat Barat mengadakan
beberapa ritus adat. Di antaranya, membawa sesajian di “Compang” (tempat
leluhur) dan “Wae Teku” (mata air), ikrar janji adat oleh semua warga kampung
di Pa’ang (pintu gerbang kampung),
dan tarian Caci. Acara ini merupakan ritus tahunan warga Roe menjelang penutupan
tahun.
Acara
yang dibuka, Minggu (29/12/2019) ini, sebagaimana disampaikan Nobertus Hasa, Tu’a Golo (Kepala Adat) kampung Roe,
bertemakan “Nipu Ceki Akhir Tahun”.
Nipu Ceki secara harfiah diartikan sebagai, “mengingat kembali
leluhur-nenek moyang” (nipu:
mengingat; ceki: leluhur). Karena
itu, secara logis dapat dipahami bahwa acara adat akhir tahun warga Roe ini
merupakan sebuah actus pengevaluasian
laku hidup warga Roe sendiri. Dalamnya ada syukuran, penghormatan terhadap
leluhur, pembaharuan janji adat, dan penyegaran tarian adat, yakni tarian Caci
agar tidak mati di tangan para generasi muda.
Acara
adat di penghujung tahun 2019 ini berlangsung selama dua hari, yakni 29 – 30
Desember 2019.
Acara
adat penghormatan leluhur dan pembaharuan janji adat warga kampung Roe
berlangsung pada Minggu, (29/12/2019). Acara adat pertama yang dilakukan adalah
Teing Hang Empo (beri makan/bawa
sesajian kepada leluhur) di Compang.
Compang (Manggarai), adalah sebuah tempat khusus
untuk meletakkan persembahan kepada leluhur, roh nenek moyang. Ia terkonstruksi
dari batu yang tersusun teratur, dan letaknya di tengah kampung.
Compang kampung Roe tertetak di sebuah puncak bukit
di Kampung Roe. Bukit itu, sebagaimana diterangkan Tu’a Golo kampung Roe, merupakan kampung lama warga Roe. Generasi
pendahulu kampung Roe bermukim di bukit Roe itu, sebelum mereka beralih ke
kampung yang sekarang mereka tinggal. Sekarang, di bukit itu tak berpenghuni
lagi.
Semua
warga Roe – orang tua dan anak-anak – waktu itu mendaki bukit tersebut untuk
bersama-sama membawa sesajian kepada leluhur di Compang.
Compang yang berada di puncak bukit Roe itu, bagi
Blasius Midun, Guru SDK Roe, yang juga orang tua di kampung Roe, merupakan
simbol persatuan.
“Penyerahan
sesajian yang berupa ayam jantan di Compang
itu bukan hanya semata penghormatan kepada leluhur, tetapi juga sebuah upacara
untuk mempererat persatuan dan kesatuan warga Roe. Ada ikrar untuk bersatu di
sana”, kata Guru SDK Roe itu.
Tetua adat Kampung Roe bersama beberapa warga kampung sedang kusyuk menyampaikan ujud kepada leluhur di Compang kampung yang terletak di Puncak Bukit Roe, Minggu (29/12/2019). |
Setelah
Teing Hang Empo di Compang, dilanjutkan
dengan Teing Hang Empo di “Wae Teku”
(air timba-mata air) yang letaknya di lereng bukit yang sama. Di sana,
sebagaimana juga yang dibuat di Compang,
tetua adat menyembelihkan ayam jantan, sambil melafalkan doa/ucapan adat dalam
Bahasa Manggarai. Dan acara ini diikuti oleh semua warga kampung Roe juga.
Acara
Teing Hang Empo di Wae Teku ini merupakan bentuk
penghormatan dan ucapan terimakasih kepada roh nenek moyang yang diyakini
menjaga sumber mata air warga Roe. Ini bermaksud agar alam Roe bersatu dengan
warga Roe, sehingga mereka kelak tidak mengalami kekeringan atau kekurangan air.
“Air
itu merupakan bagian terpenting. Ada kepercayaan bahwa ada roh nenek moyang yang
menjaga air itu (tinggal di sumber mata air). Acara itu bermaksud agar manusia
bersatu dengan alam, sehingga air tidak surut untuk memenuhi kebutuhan warga
Roe”, terang Blasius Midun kepada argumentasi.com.
Acara
adat pada 29 Desember 2019 itu, kemudian ditutup dengan upacara inisiasi dan
ikrar janji warga kampung kepada leluhur di Pa’ang
(pintu gerbang) kampung Roe.
Blasius
Midun menerangkan, “segala yang buruk yang dilakukan selama tahun 2019 dibuang
di Pa’ang. Dan kemudian, di tempat
yang sama diungkapkan janji kepada leluhur, untuk berlaku baik (tidak melanggar
norma adat yang berlaku), dengan ditandai penyebelihan 8 ekor ayam jantan. Jika
janji itu dilanggar, maka resikonya ditanggung sendiri oleh warga
bersangkutan.”
Setelah
melewati tiga rangkaian acara adat pada 29 Desember 2019, para warga kampung
dihibur dengan pementasan tarian Caci pada 30 Desember 2019. Aktor tarian caci
ini adalah anak-anak muda kampung Roe.
Bagi
Tu’a Golo kampung Roe, ini bermaksud
agar tarian Caci ini terus diminati dan dapat dilakonkan oleh generasi muda,
sehingga tarian khas Manggarai ini tidak terhanyut ditelan arus zaman.
“Selain
untuk menghibur warga kampung di akhir tahun, tarian Caci ini adalah ajang
latihan anak-anak muda”, ujar Nobertus Hasa, Tu’a Golo kampung Roe.
Adapun
harapan Tu’a Golo itu, yang tentu
menjadi harapan semua generasi tua Manggarai, adalah agar tarian ini tidak
mati. Semua anak-anak muda Manggarai mesti mempelajari dan melatih diri agar
bisa menjadi aktor tarian Caci.
“Harapannya
agar tarian budaya ini kita lestarikan. Karena tarian Caci ini sebuah budaya,”
tuturnya.
Selebrasi
akhir tahun warga Roe ini begitu mendalam dan tentu bermakna. Atraksi warga Roe
dalam menyambut tahun 2020 itu sangat bertolak belakang dengan selebrasi yang
diselenggerakan Pemkab Manggarai Barat (Mabar).
Warga
Roe menutup tahun 2019, sekaligus menyambut tahun 2020 dengan acara adat,
dalamnya ada evaluasi kehidupan warga, penghormatan terhadap leluhur, ikrar
janji adat, dan pelestarian tarian Caci. Sementara, Pemkab Mabar menghibur
sebagian warga Mabar dengan meledakkan 10.000 petasan di Pelabuhan Pelni Labuan
Bajo, (31/12/2019).
Warga
Roe bergotong royong menyelenggarakan acara adat di akhir tahun itu, sementara
Pemkab Mabar menghamburkan ratusan juta untuk menyambut tahun 2020. Bukankah
ini sebuah pemborosan atau pembakaran uang rakyat?
Rudi Haryatno
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment