Budaya
Guru dan Mutu Pendidikan
Ilustrasi, pixabay.com. |
Di era globalisasi saat ini, setiap
sektor kehidupan sangat menuntut profesionalisme yang ditandai oleh kecakapan
dengan basis ilmu dan keterampilan khusus sesuai bidang tersebut.
Spesifikasi bidang mengisyaratkan
penguasaan bidang tersebut secara mendalam. Prinsip yang dipegang teguh adalah
“lebih baik tahu sedikit tetapi mendalam daripada tahu banyak tetapi tidak
mendalam.”
Mencermati hakikat
profesi, tidak dapat diragukan lagi bahwa guru adalah sebuah profesi. Guru adalah pekerja profesi yang menuntut kecakapan
dan profesionalisme yang tercermin dalam empat kompetensi guru, yakni
kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi personal dan
kompetensi sosial.
Keempat kecakapan dan
kompetensi itu sangat dibutuhkan mengingat guru merupakan
komponen pendidikan yang sangat berperan penting dalam kegiatan belajar mengajar,
khususnya di lembaga pendidikan formal.
Akhir-akhir ini perhatian terhadap guru amat kuat. Sekurang-kurangnya
ada dua sorotan tajam yang muncul.
Pertama, hampir tiap minggu kita membaca berita muram di dunia pendidikan; guru
mencabuli muridnya, orangtua murid menusuk guru, guru dihajar hingga tewas
setelah mencoret pipi muridnya dengan cat lukis, dan sebagainya.
Kedua, tak dapat
disangkal bahwa banyak guru di negara kita
saat ini yang bermasalah. Berdasarkan data
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017/2018, dari 1,48 juta guru SD,
tercatat 208.158 orang atau sekitar 14 persen guru belum sarjana. Adapun
jenjang SMP, dari 628.052 guru, tercatat 42.986 orang atau 6,8 persen guru yang
belum sarjana.
Tentu dua sorotan yang diangkat ini
sangat memprihatinkan dan memberikan dampak buruk terhadap kualitas pendidikan
kita saat ini.
Kenyataan ini tentunya
membawa pengaruh buruk terhadap mutu pendidikan kita di Indonesia saat ini.
Hasil survey Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) menyebutkan bahwa sistem pendidikan di
Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh
lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki
sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta
Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke 12, setingkat di bawah Vietnam.
Sedangkan laporan dari United Nations Development Program (UNDP) tahun 2010 dan 2011,
menyatakan bahwa indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk.
Tahun 2010, Indonesia menempati urutan ke 111 dari 175
negara. Lebih sempit lagi pada kawasan ASEAN, menurut UNDP menyatakan posisi
Indonesia dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN masih tertinggal
cukup jauh, Singapura pada urutan 25, Brunei pada urutan 33, Malaysia pada
urutan 58, sementara Indonesia berada pada urutan 111.
Kasus terakhir yang memilukan ialah rencana Menteri Ristek untuk mendatangkan
rektor asing memimpin perguruan tinggi Tanah Air. Rencana ini berangkat dari
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang mengalami penurunan yang cukup
signifikan di dunia.
Data yang dirilis QS World University Ranking 2019-2020 menunjukkan bahwa hanya tiga
universitas di Tanah Air yang masuk 500 besar. Universitas Indonesia di urutan
296, diikuti Universitas Gadjah Mada di posisi 320 dan Institut Teknologi
Bandung di peringkat 331. Perguruan tinggi lainnya terlempar jauh di luar 500 besar
dunia.
Posisi perguruan tinggi di Indonesia
bertolak belakang dengan di Singapura yang menempatkan dua universitasnya pada
urutan 11 dan 12 dunia. National University of Singapore di urutan 11 dan
Nanyang Technological University pada urutan 12. Kondisi itulah yang membuat
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti) Mohamad Nasir
mengurut dada. (Media
Indonesia 02/08/2019)
Pertanyaan mendasar di
sini ialah mengapa kualitas pendidikan kita selalu menurun?
Hemat penulis, salah
faktor penyebab yang membuat mutu pendidikan kita selalu buruk ialah model dan
gaya pembelajaran kita di kelas selama ini masih bercorak konvesional. Banyak
guru di Negara kita saat ini yang acuh tak acuh terhadap perubahan.
Pembaruan kurikulum
dari tahun ke tahun sesungguhnya menuntut guru berubah. Yang terjadi selama ini
tidaklah demikian. Kurikulum terus diperbarui tetapi cara mengajar guru masih
seperti dulu.
Kita patut apresiasi
bahwa banyak pelatihan yang diberikan untuk menerapkan model pembelajaran yang
inovatif, tetapi ketika kembali ke sekolah guru tetap menerapkan pembelajaran
konvesional. Padahal di era 4.0 saat ini, seorang guru dituntut untuk kreatif
dan inovatif dalam mempersiapkan pembelajaran di sekolah.
Menurut Trillling dan Fadel (2009),
pembelajaran di era 4.0
saat ini berorientasi pada
gaya hidup digital, alat berpikir, penelitian pembelajaran dan cara kerja
pengetahuan.
Tiga dari empat orientasi pembelajaran
era 4.0 sangat dekat dengan pendidikan kejuruan yaitu
cara kerja pengetahuan, penguatan alat berpikir, dan gaya hidup digital.
Cara kerja pengetahuan merupakan
kemampuan berkolaborasi dalam tim dengan lokasi yang berbeda dan dengan alat yang
berbeda, penguatan alat berpikir merupakan kemampuan menggunakan teknologi,
alat digital, dan layanan, dan gaya hidup digital merupakan kemampuan untuk
menggunakan dan menyesuaikan dengan era digital.
Profesionalitas Guru
Mengapa profesionalitas guru? Guru adalah urat nadi
pendidikan. Pada dasarnya
ada hubungan yang sangat erat antara profesionalitas guru dengan kualitas
pendidikan yang ingin dicapai.
Semakin guru itu ahli
dan profesional dalam bidangnya, maka kualitas pendidikan pun akan maksimal.
Demikian pun sebaliknya, jika guru tidak profesional maka kualitas pendidikan
pun akan rendah. Pada titik inilah guru dipandang sebagai profesi yang memiliki
peranan penting untuk melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas demi
peningkatan kualitas pembangunan dan pendidikan itu sendiri.
Tugas sebagai seorang guru tentu tidak gampang karena
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam menjalankan tugasnya,
ia harus memiliki kecakapan dan kemahiran dalam bidangnya.
Presiden Jokowi pada saat pertemuan
akbar Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2019 di Depok, Jawa Barat, menegaskan,
tidak ada toleransi terhadap mutu guru,
karena guru merupakan ujung tombak peningkatan sumber daya manusia. Karena itu
harus ada syarat akademik, profesional, pedagogik, karakter, dan sosial yang
harus dipenuhi seorang guru.
Saat ini, Indonesia membutuhkan orang-orang yang dapat berpikir secara efektif, efisien, produktif, dan mampu berkompetisi di tingkat dunia. Hal tersebut dapat diwujudkan jika kita mempunyai tenaga pendidik yang profesional dan mampu mencetak generasi bangsa yang pintar dan bermoral dalam rangka membenahi konsep, sistem, dan mutu pendidikan kita saat ini.
Fr. Har Yansen, SVD
Alumnus STFK Ledalero. Pernah Mengajar di Seminari San Dominggo Hokeng.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment