Ads Right Header

Merawat Kebhinekaan ala Seminari Petrus van Diepen




Siswa/i Kelas VIII SMP Seminari Petrus van Diepen, berpose bersama di halaman SMP Seminari.

Beberapa tahun terakhir, kebhinekaan seakan tidak lagi menghadirkan kebahagiaan bagi negeri, tetapi serentak menjadi momok. Bagaimana tidak? Persoalan yang mengoyak substansi kebhinekaan, seperti isu primordial seputar SARA terus saja berseliweran di panggung negeri ini. Sebut saja yang paling seksi, adalah isu rasial dan agama.

Kedua kandungan bhineka tersebut begitu gesit dan genit mengundang hasrat bertikai dan melahirkan kegaduhan dalam negeri. Panggung politik disulap menjadi arena pentas isu rasial dan agama, bukan lagi menjadi panggung pertarungan ide, gagasan, dan vis-misi yang otentik dan realistis. Ruang publik tidak lagi menjadi tempat teduh nan syaduh bagi kebhinekaan, malah menjadi tempat yang menakutkan.

Sepertinya, Indonesia semakin “tua”, penduduknya semakin kurang paham tentang kebhinekaan. Tentu ini bahaya bagi petulangan bangsa ke depan. Indonesia yang niscaya bhineka akan mudah terpecah, jika rakyatnya lebih terus melemparkan isu SARA ke segala arah. Ironis memang, tetapi itulah fakta.

Agar Indonesia tetap eksis dalam kebhinekaan, maka kebutuhan niscaya bagi bangsa adalah anak-anak bangsa mesti memahami dan mencintai factum kebhinekaan itu. Salah satu suluh yang berperan penting untuk itu adalah dunia pendidikan formal (mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi). Bahwasannya, dunia pendidikan merupakan wilayah penggemblengan karakter intelektual dan tingkah laku manusia (behaviour). Dan dunia Pendidikan merupakan ruang yang plural, sehingga menjadi tempat paling tampan dalam membangun kecintaan dan kepekaan akan pluralitas.

Seminari Petrus van Diepen (selanjutnya SPvD) seakan menyadari betul akan tugas itu. Bahwa, selain sebagai salah satu tonggak dasar perwujudan amanat UUD 1945, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”, SPvD juga merasa bertanggungjawab untuk menyemai pribadi pencinta bhineka. Seminari yang beralamat di Aimas, Jalan Melati, Mariat Pantai, Kabupaten Sorong, Papua Barat ini mempunyai kekhasan yang boleh menjadikannya sebagai lambaga pendidikan pencinta kebhinekaan. Apa kekhasanya? Dan Apa kaitannya dengan kebhinekaan? Tulisan ini berupaya mendeskripsikan kedua pertanyaan tersebut.

Seminari Petrus van Diepen

Tampilan halaman tengah SMP Seminari Petrus van Diepen.
Sebelum memperkenalkan SPvD secara singkat, penulis mendeskripsikan secara ringkas perihal lembaga pendidikan Seminari terlebih dahulu. Hal pertama yang mesti diketahui adalah Seminari merupakan lembaga pendidikan khas Katolik.

Secara etimologis, term “seminari” berasal dari kata bahasa Latin, yaitu “semen”, yang artinya “benih atau bibit”. Jika term “semen” diubah ke dalam genus neutrum, maka menjadi “seminarium”, yang artinya “tempat pembibitan, tempat persemaian benih-benih”. Jadi secara etimologis, seminari merupakan sebuah lembaga – sekolah – yang mempunyai tujuan khusus, yakni menggembleng anak-anak (beragama Kataolik) yang mempunyai benih-benih panggilan untuk menjadi imam-pastor.

Pada umumnya, Seminari merupakan lembaga pendidikan yang homogen, yang hanya terdiri dari laki-laki yang mempunyai keinginan untuk menjadi imam atau pastor. Dan pola pendidikannya adalah berasrama dengan berbagai aturan yang mengikat. Pola pendidikannya bersifat otonom, dengan beberapa pelajaran khusus, seperti liturgi, Kitab suci, bahasa Latin, public speaking, dan beberapa lagi, yang tidak terdapat pada sekolah negeri atau swasta pada umumnya.

Namun, Seminari tetap mengikuti kurikulum pendidikan yang ditetapkan negara. Jadi, sepintas, seminari merupakan sekolah yang mendidik siswa khusus laki-laki beragama katolik yang bercita-cita menjadi pastor. Konsekuensinya, siswa/i non-katolik dan perempuan beragama katolik tidak mempunyai ruang dalam lembaga pendidikan seminari.

Namun, SPvD, sebagaimana dikutip dari buku pedoman pembinaan SPvD, sejak awal berdirinya terbuka untuk umum, baik untuk yang perempuan beragama katolik maupun laki-laki dan perempuan non-katolik. Ini berdasarkan tujuan berdirinya, yakni selain untuk menggembleng dan “memberikan wadah bagi remaja muda se-tanah Papua yang ingin menjadi imam-pastor”, juga “untuk menanggapi situasi buruk perkembangan pendidikan di Papua” (buku pedoman SPvD hasil revisi tahun 2018).

SPvD digagas oleh Mgr. Hilarion Datus Lega, Uskup  Keuskupan Manokwari Sorong (KMS). Setelah setahun ditahbiskan menjadi Uskup KMS pada 2003, tahun 2004, beliau mengambil keputusan berani untuk membangun sebuah lembaga pendidikan calon pastor di Papua Barat.

Gagasan besar ini bertolak dari jumlah pelayan atau pastor yang tidak sebanding dengan jumlah umat dan luas wilayah pastoral. Bayangkan Uskup Hilarion hanya dibantu oleh 7 imam diosesan plus beberapa tenaga pastor dari tarekat religius lainya untuk melayani umat katolik di 27 Paroki yang nota bene keadaan geografisnya sulit dijangkau, seperti bukit, gunung-gunung, lautan, dan sungai-sungai besar (ibid.)

Pembangunan gedung-gedung untuk mendukung pembinaan di Seminari ini, dimulai sejak tahun 2004. Pembangunan berbagai gedung, seperti Aula, tempat tinggal para pembina, Gereja dan asrama rampung pada tahun 2005, sehingga pada tanggal 29 Juni 2005, Uskup Hilarion Datus Lega meresmikan berdirinya Seminari Petrus van Diepen.

Angkatan pertama SPvD yang masuk tahun 2005 berjumlah 10 orang. Mereka bergabung mengikuti pelajaran umum di SMP Don Bosco kota Sorong, Papua Barat, karena gedung sekolahnya baru mulai dibangun pada tahun 2005. Pembangunan gedung sekolah itu berlangsung setelah peletakan batu pertama oleh Duta Besar Vatikan untuk Repulik Indonesia (2004-2005), Mgr. Albert M. Ranjith Patabendige Don, pada 29 Juni 2005. Kemudian, pada tahun 2010 mulai dibangun gedung sekolah SMA (ibid.). Di SPvD, siswa-siswi digembleng selama enam tahun, dari SMP hingga selesai SMA. 

Seminari yang terletak di Amas, Kabupaten Sorong, Papua Barat ini akan berusia 15 tahun pada tahun 2020. Walau terhitung usianya belia, lulusan SPvD sudah ada yang mengabdi untuk negeri dan masyarakat, ada yang sedang kuliah di luar negeri, dan ada yang melanjutkan cita-cita mulia untuk menjadi imam/pastor. Angkatan pertamanya akan ditahbiskan menjadi imam pada tahun 2020/2021.

SPvD Merawat Kebhinekaan

Para guru SMP Seminari Petrus van Diepen berpose bersama di halaman Seminari.
SPvD, entah SMP atau SMA mempunyai kekhasan yang membedakannya dengan Seminari lain di Indonesia. SPvD menampilkan warna bhineka yang sesungguhnya. Bahwa, selain terkonstruksi dari siswa yang berasal dari etnis atau budaya lain, juga sejak berdirinya pada tahun 2005, SPvD terbuka bagi siswi perempuan (Katolik) dan siswa/i yang beragama lain, selain Katolik. Siswa/i non-khatolik diterima dan digembleng di sini. Namun, mereka yang bukan katolik dan yang perempuan tidak tinggal berasrama seperti siswa seminaris yang katolik, yang bercita-cita atau dipersiapkan untuk menjadi pastor.

Pada tahun ajaran 2019/2020, jumlah siswa SMP SPvD 377 orang. Dari jumlah tersebut, laki-laki berjumlah 241 orang, sedang perempuan berjumlah 136 orang. Dari jumlah itu juga, yang beragama Katolik 332 orang, Kristen Protestan 44 orang, dan Hindu 1 orang (data SMP SPvD)

Selain siswanya menampilkan kebhinekaan, para pendidik dan pengajar juga berasal dari budaya dan agama yang beragam. Ada yang dari Timur, Papua, Masakar-Toraja, Bali, Jawa, juga ada yang beragama protestan, katolik (termasuk para pastor), dan hindu. Sebagaimana terdokumentasi dalam data SMP SPvD, dari 21 guru, laki-laki ada 14 orang, perempuan 7 orang. Kemudian, yang beragama katolik 18 orang, Kristen 2 orang, dan Hindu 1 orang.

Kebhinekaan benar-benar menjadi mozaik yang tertempel menawan pada dinding kehidupan bersama di SPvD. Pluralitas itu bertumbuh dan berkembang subur dalam taman komunitas SPvD. SPvD seperti miniatur kebhinekaan di Indonesia. Benar-benar plural dan satu. Yah, siapa menyangka, lembaga pendidikan yang mesti dikhususkan untuk menggembleng generasi penerus Gereja, serentak terbuka untuk semua agama. Menarikan?

Secara eksplisit, SPvD sudah dan sedang membangun spirit cinta bhineka di tanah Papua Barat khususnya, dan Indonesia umumnya. Dari Timur negeri, SPvD tidak meraung keras berbicara tentang kebhinekaan. Tetapi, SPvD bersuara dalam karya dan teladan, bagaimana sejatinya memelihara dan mencetak pribadi yang cinta dan peka akan fakta kebhinekaan.

Para pendidik tidak seperti sebagian orang-orang di negeri ini yang berbicara tentang indahnya kebhinekaan tetapi lakunya menentang mulutnya sendiri. Di SPvD para pendidik membicarakan dan mengajarkan tentang syaduh indahnya factum kebhinekaan dengan sikap dan contoh hidup yang menampilkan keharmonisan dalam kebhinekaan.

SPvD setidaknya sudah memberikan contoh terbaik dalam menjaga dan merawat pluralitas. Generasi muda mesti diperkenalkan dengan pluralitas. Dan inilah cara SPvD memperkenalkan pluralitas kepada generasi muda. Tidak membuat aturan yang menyangkal dan menolak pluralitas. 

Jadi, para agen pendidikan mesti sadar, bahwa dunia pendidikan itu bukan hanya lembaga untuk mentransfer pengetahuan belaka, tetapi juga sebagai suluh pembangunan karakter yang sesuai dengan konteks bangsa. Bahwa, negeri ini plural, karena itu sekolah mesti menjadi tonggak dasar untuk menjaga dan membangun karakter generasi muda yang mencintai pluralitas yang niscaya itu.*


Rudi Haryatno
Tinggal di Seminari Petrus van Diepen, Aimas, Sorong-Papua Barat. 
Previous article
Next article

2 Comments to

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel