Ads Right Header

Kebablasan Kebebasan

Foto ilustrasi
Judul Asli  : The Age Reason
Penulis      : Jean-Paul Sartre
Judul Terjemahan        : The Age of Reason
Penerjemah                 : Anton Kurnia
Penerbit                       : Immortal Publisher dan Octopus
Tahun terbit                  : 2018
Jumlah Halaman           : 460 halaman

Novel “The Age of Reason” tulisan Jean-Paul Sartre mengungkapkan satu gagasan tentang “kebebasan”. Melalui tokoh Mathieu, Paul Sartre ingin menegaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah “bebas”. Atau secara radikal dikatakan, “manusia itu dikutuk untuk bebas”.  Eksistensi manusia sebagai yang “bebas” sangat jelas dinarasikan dalam novel best seller ini.

Paul Sartre mengungkapkan gagasannya tentang kebebasan dengan kisah naratif. Narasi yang dibangun dalam novel terjemahan Anton Kurnia ini sangat kental filsafat. Dalamnya menegaskan secara eksplisit, bahwa manusia memiliki kebebasan. Dalam kebebasan itu, manusia dapat melakukan apa saja sesuai dengan dorongan nuraninya. Gambaran perihal kebebasan Paul Sartre, terlihat jelas dari pergulatan sang tokoh, Mathieu.

Mathieu yang menganggungkan kebebasan terperangkap dalam sebuah peristiwa yang menggoyahkan ikhtiar kekebasannya sendiri. Dia menghamili kekasihnya, Marcelle. Kehamilan Marcelle merupakan sebuah pilihan bebasnya. Bahwa dia mau berelasi dengan siapa saja, dan berbuat apa saja. Tergantung dorongan kebebasannya. 
Fakta kehamilan kekasihnya, serentak membawa Mathieu pada pergulatan yang luar biasa. Dia memilih antara menikahi kekasihnya atau mengaborsi isi janin kekasihnya. Menikahi kekasihnya, berarti dia siap mengingkari kebebasan yang diagungkannya, demikian pikirnya. Sebaliknya, mengaborsi merupakan sebuah actus penganggungan atas kebebasan. Inilah cara menjaga eksistensinya sebagai orang bebas.

Mathieu terperangkap dalam dua pilihan tersebut. Antara menikah (membiarkan janin kekasihnya berevolusi) atau tidak menikah (membunuh janin kekasihnya).  Rupanya, dia tidak ingin kebebasannya dirampas dengan ritus pernikahan. 

Walau usianya tidak lagi muda (40-an tahun), Mathieu konsisten pada dorongan kebebasannya. Bahwa, dia memilih untuk mengaborsi janin dalam kandungan kekasihnya. Sepertinya, menikah bagi Paul Sartre, sebagaimana dinarasikannya melalui tokoh Mathieu merupakan petaka bagi kebebasan. Momok kebebasan. Sungguh ekstrim bukan?

Aborsi secara harfiah dipahami sebagai pengguguran kandungan. Aborsi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dibagi kedalam tiga kategori; Pertama, aborsi kriminalis, yakni aborsi yang dilakukan dengan sengaja karena suatu alasan dan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. 

Kedua, aborsi legal, yaitu aborasi yang dilaksanakan dengan sepengetahuan pihak yang berwenang. 
Ketiga, aborsi medis, yakni aborsi yang dilakukan dengan pemberian obat. 

Dari ketiga kategori ini, aborsi yang ditawarkan Mathiew kepada kekasihnya termasuk aborsi kriminalis. Mereka melakukannya dengan sengaja dan tidak melalui persetujuan ibu Marcelle, kekasihnya.

Ternyata, mengeksekusi niat aborsi itu tidaklah gampang. Di sini, Mathieu masuk dalam ketegangan laur biasa. Pertama, dia harus menjaga perasaan kekasihnya agar tetap mengikuti niatnya untuk mengaborsi. 

Kedua, dia mesti menjaga rahasia itu dari orang tua kekasihnya. Dan ketiga, keterbatasan finansial untuk membayar “dokter” aborsi. Niatnya akan terealisasi dengan baik jika ketiga hal tersebut dipenuhinya.

Mathieu sepertinya disiksa oleh kebebasannya sendiri. Pilihan bebasnya itu, ternyata menjerat dia dalam ketidakbebasan. Dia mesti siap membayar “dokter” aborsi dengan biaya yang tidak murah. 

Profesinya sebagai dosen seakan tidak dapat memenuhi kebutuhan finansial untuk membiayayai pengaborsian janin kekasihnya. Petualangan mencari dana untuk kebutuhan aborsi begitu menegangkan, sekaligus menyiksa. 
Sambil mecari uang, dia harus menjaga mood dan perasaan kekasihnya, menjaga rahasia itu dari orang tua kekasihnya, dan juga mesti menimbang berbagai masukan perihal keputusannya itu. 

 Salah satu saran bijak kepadanya, berasal dari kakaknya, Jacques. “Hadirnya seorang anak adalah kosekuensi logis dari situasi yang kau masuki atas kehendakmu sendiri dan kau menghalanginya karena kau tidak mau menerima semua kosekuensi perbuatanmu,” kata Jacques keadanya ketika dia ingin meminjamkan uang kakanya itu. (Hlm. 148).

Semua suara yang diterimanya mengharapkan dia menikahi kekasihnya. Mambatalkan niat mengaborsi. 
Anjuran itu tentu bijak. Bahwasannya, di usia Mathieu (40-an tahun) yang tidak muda lagi itu, memilih untuk menikah adalah jalan yang paling baik. Cara untuk tidak menanggung sendiri sengsara pada masa usia lanjut. 
Kemudian, mengaborsi hanya akan membawa petaka besar baginya. Bukan tidak mungkin, aksi aborsi berpotensi melemparkannya ke dalam jeratan hukum. Aborsi sama halnya bunuh diri-bunuh karakter sendiri. 

Ending dari narasi novel International Best Seller ini sepertinya tidak mengakhiri ketegangan, baik yang dialami Mathieu, Marcelle, maupun pembaca. Sepertinya, Paul Sartre menempatkan puncak atau ketegangan cerita hingga akhir. 

Kutukan kebebasan yang radikal, yang dihidupi Mathieu digambarkan tanpa akhir. Mathieu tidak menikahi kekasihnya. Juga, aborsi yang dingingkannya tidak terwujud. 

Mathieu benar-benar dihimpit dan dikekang oleh kebebasannya sendiri. Alih-alih ingin bebas, dia malah bergerak tidak bebas. Menjaga rahasia kehamilan dan niat mengaborsi janin kekasihnya dari orang tua kekasihnya.

Mathieu begitu radikal mengekspresikan kebebasannya. Sampai-sampai dia tidak menghiraukan anjuran dari orang sekitarnya untuk menikahi Marcelle. Akibatnya, kebebasan yang radikal itu membawa dia pada ketegangan hidup. 
Hidupnya, walau diarahkan dengan pilihan bebas, tetapi digambarkan seperti tidak bebas. Dia hidup dalam arus dilematis yang luar biasa, yang tak berkesudahan. Antara menikah atau aborsi. Kebebasannya seakan mengutukinya. Kebebasan yang radikal bukan tidak mungkin membunuh kebebasan, baik kebebasan diri sendiri, maupun kebebasan orang lain. 

Kebebasan sebagai hak dasar atau asasi manusia, seyogiyanya dipraktekkan secara proporsional. Dalam artian, kebebasan itu mesti diekspresikan dengan melihat patokan umum (the law). Kebebasan itu sebaiknya diekspresikan dengan tanpa membatasi kebebasan orang lain. Ingat! Manusia akan terbebaskan atau merasa bebas, bukan dengan mencampakan yang lain, tetapi dengan menghargai kebebasan yang lain.  Mathieu dalam percakapan menjelang akhir cerita novel itu mengakatakan, “seorang laki-laki akan terbebaskan bukan dengan mencampakan seorang perempuan.”


Oleh: Rudi Haryatno
Previous article
Next article

Leave Comments

Post a Comment

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel