SosPol
Pandemi Covid-19: Atau Hidup atau Mati
Pixabay.com |
Akhir-akhir ini kita diselimuti wabah mengerikan, covid-19. Kita
mendengar dan menyaksikan di berbagai media pun di televisi berita tentang begitu banyak orang
terpapar virus ini; dirawat di berbagai rumah sakit dan tempat perawatan
darurat lainnya, bahkan banyak orang meninggal dunia karena tidak mampu
melawan ganasnya covid-19.
Setiap orang mengisolasi diri, hidup dalam kecemasan dan
ketakutan yang mengerikan. Dapat dikatakan hidup dalam bayang-bayang
penderitaan dan kematian. Dalam situasi seperti ini, nyawa manusia adalah
taruhan. Siapa yang kuat, dia menang dan hidup, sebaliknya siapa yang lemah,
dia kalah dan mati. Berbagai gerakan kemanuisaan pun dilakukan untuk membantu
mereka yang tengah berjuang melawan wabah ini.
Banyak orang dan bahkan mungkin kita
juga mengaduh, kapan musibah ini berlalu? Tentu saja kita tidak dapat
berspekulasi. Berakhirnya wabah covid-19 ini bisa dipastikan di luar kendali
kita.
Fokus ulasan saya dalam tulisan ini
adalah tentang hidup dan mati seorang manusia sebagai bentuk pemaknaan terhadap
wabah virus yang tengah melanda dunia ini.
Armada Riyanto menyebut manusia
sebagai dia
yang bergulat dengan pengalaman duka dan kecemasan, kegembiraan dan harapan,
tawa dan tangis, beban berat dan ringan kesehariannya. Karena itu dia disebut dasein. Dengan kata lain dasein melukiskan kekompleksan
realitas eksistensial manusia.
Jika dikatakan bahwa kematian itu milik dasein, seakan-akan hendak menunjukkan terhentinya keberadaan
manusia dengan segala pengalamannya. Kesusahan manusia berhenti, kegembiraannya
tidak ada lagi, eksistensinya tidak ada lagi, namun apakah semua pemaknaan
indah mengenai eksistensi manusia hilang lenyap seiring dengan kematiannya?
Heidegger mengatakan bahwa kematian itu bukan saat Sang
Pencipta mencabut nyawa kita. Kematian itu merupakan sebuah batas peziarahan
dari manusia. Karena merupakan sebuah peziarahan menuju batas, saat menuju
kematian, manusia mengalami semacam “tahapan” eksistensial “sudah dan belum”. Ia seperti berada dalam in-between eksistensialnya.
In-between merupakan terminologi
untuk mengusung kebenaran bahwa hidup manusia itu berziarah. Yang harus
dikatakan bahwa in-between bukanlah
“ada-di antara” dua ruang fisik.
Ruang fisik tidak dimaksudkan untuk menguraikan antara
kehidupan dan kematian. Kehidupan merupakan satu ruang dan kematian adalah
ruang yang lain. Keduanya dipisahkan oleh tembok pemisah yang tak bisa
dihancurkan. Pemahaman jenis ini mungkin terlalu naif, tetapi orang kerap
menjatuhkan pemahaman antara kehidupan dan kematian seperti ini.
Karena pemahaman demikian, in-between juga memaksudkan hidup manusia melukiskan kedua
keindahan yang ‘sudah’ tetapi juga ‘belum’ berada dalam kepenuhan
keindahan itu. Dengan demikian hidup manusia seperti sedang menuju kepada
kepenuhannya, penderitaan dan kematian menjadi momen manusia menuju kepada
kepenuhan itu.
Kematian mengatakan kebenaran bahwa hidup manusia berada
dalam waktu dan keterbatasan ruang (temporalitas).
Orang tidak dapat mengelakkan konsekuensinya. Orang juga tidak dapat
mengeluarkan dirinya dari keterbatasan waktu dan ruang eksistensialnya.
Temporalitas eksistensial maksudnya manusia menghayati
hidupnya, menyambut penderitaan dan kegembiraannya, serta menyongsong akhir
hidup dan baktinya. Karena temporalitas, hidup manusia memiliki awal (dalam
kelahiran) dan akhir (dalam kematian). Akan tetapi bukan hanya disempitkan pada
jarak waktu. Temporalitas juga mengatakan makna singkat atau lamanya hidup
tidak identik dengan pemaknaan.
Hidup yang singkat tidak berarti bahwa yang bersangkutan
memiliki hidup yang kurang bermakna pun sebaliknya hidup yang lama dalam banyak
tahun tidak juga mengatakan seolah-olah hidup itu telah lebih bermakna.
Makna hidup tidak segaris lurus dengan temporalitas.
Temporalitas juga berarti kesementaraan. Hidup manusia itu sementara. Pemaknaan
temporalitas demikian berdasar pada pengalaman dasein (manusia). Apabila manusia mengalami kegembiraan, pengalaman itu besifat
sementara, jika ia menderita, penderitaan itu pun tidak abadi. Kesementaraan
pengalaman memungkinkan dasein
mengelola hidupnya sebaik dan seindah mungkin.
Kematian kerap dimengerti sebagai misteri kefatalan diri.
Banyak pemuka agama mengemas informasi mengenai kematian sebagai disposisi
misterius absurd dalam hidup manusia. Disposisi misterius ini dikatakan sebagai
yang memiliki karakter fatal menakutkan.
Aneka penjelasannya kerap begitu absurd-dramatis seperti
kedatangan dan keberadaan malaikat pencabut nyawa. Ini menyisahkan sebuah
absurditas. Pada kenyataannya tidak seorang pun bisa berkata dari pengalamannya mengenai kematian.
Pemahaman ini hendak mengatakan disposisi keterbatasan.
Kematian merupakan misteri yang tak terselami. Tidak pernah
ada kesaksian perihal esensi dari apa yang kita sebut kematian. Aneka publikasi
perihal kematian umumnya berasal dari pengalaman spiritual atau sekitar itu, dari satu dua manusia
yang pernah memasuki alam ketidak-sadaran yang diklaim sebagai “dekat” dengan
kematian.
Pengalaman mereka digabung dengan beberapa ajaran rohani
dalam agama-agama. Seakan-akan kita memiliki kebenaran ilmiah mengenai realitas
kematian atau hidup sesudah itu. Beberapa publikasi mengenai kematian bisa
merupakan simplikasi atau cetusan konsep fatalisasi dan absurditasi hidup
manusia.
Dalam situasi yang serba sulit ini,
kita diharapkan melakukan sesuatu demi menyelamatkan dunia ini. Panggilan profetis manusia
dalam situasi pandemi covid-19 ini dapat dijalankan dalam aneka bentuk dan cara
dari masing-masing pribadi.
Dukungan moral dan material, menjadi relawan dalam menangani
covid-19, dan sebagainya barangkali memberi harapan pada mereka yang tengah
mengalami wabah dan yang tengah pasrah dengan keadaan.
Situasi ini hendaknya dimaknai sebagai saat di mana kita
mengevaluasi hidup dan berani menghadapi berbagai kemungkinan, sekali pun itu
di luar perkiraan kita.
Christo
Garnodin,
Mahasiswa STFT Widya Sasana - Malang.
Previous article
Next article
jika hidup mnsia is sbuah ziarah mnju kpenuhan (artinya saat hidup dimaknai "belum" dan "mati" dimaknai saat dimna mc "sudah" ada pada kpenuhan), atau seperti yang ditukaskan Heidegger yang mengatakan kematian itu bukan saat Sang Pencipta mencabut nyawa kita. Kematian itu merupakan sebuah batas peziarahan dari manusia. itu berarti hdp mesti dimaknai dgn sebaik-baiknya sblm saatnya peziarahan mnsia itu berhenti (saat kematian). namun, saya sedikit mengkritisi argumentasi Heideger yakni jika kematian bukan saat dimna Sang Pencipta mencabut nyawa mnsia, itu berarti tidak bisa dikatakan bhw kematian is sbuah btas ziarah dri mc. sebab, jika nyawa dmknai "bukan dicabut", seharus ziarah itu tetap msh berlnjut (tir da. btas ziarah sprti yg dktakannya). artinya msih kntinu (meski hdp berakhir tpi ziarah msh brlngsung trs mnrus).
ReplyDelete