SosPol
Dunia tengah bergejolak dan cemas menghadapi tragedi yang menimpa kota Wuhan dan beberapa kota lain di Cina, yang dikepung virus pneumonia atau novel coronavirus (nCoV).
Virus Corona dan Sikap Kita
Gambar, pixabay.com |
Dunia tengah bergejolak dan cemas menghadapi tragedi yang menimpa kota Wuhan dan beberapa kota lain di Cina, yang dikepung virus pneumonia atau novel coronavirus (nCoV).
Virus yang diduga
kuat bersumber dari hewan ini, sebagaimana dirilis beberapa media mainstream, sudah
merebak di beberapa negara dan menelan banyak korban. Media online, CNN
Indonesia, Selasa (4/01/2020) mewartakan bahwa “di seluruh dunia, 20.400 kasus wabah
virus corona yang menyebar di 26 negara”.
Karena itu hampir
sebagian besar negara di dunia mulai membangun benteng untuk mengantisipasi
penyebaran virus ini di negaranya masing-masing, tak terkecuali di Indonesia.
Menurut seorang
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang juga Wakil Ketua MPR, Hidayat
Nur Wahid (HNW) mengatakan bahwa virus corona ini adalah tragedi kemanusiaan.
"41 juta penduduk di 13 kota (di Cina) dikarantina. Korban terus
berjatuhan dan menyebar. Vaksin belum ditemukan," kata HNW di akun
Twitternya, @hnurwahid, Sabtu (25/1/2020).
Kota Wuhan, Cina yang
menjadi sumber penyebaran virus mematikan itu serentak berubah menjadi kota
mati, seperti dipublikasikan MetroTv dalam program Headline News, Senin (27/01/2020).
Semua penduduk dari
berbagai negara yang mengaduh nasib di kota itu dikembalikan ke negaranya, dan
jasa transportasi dari dan ke kota tersebut ditutup oleh otoritas Pemerintah
Cina. Akibatnya, kota itu seakan terisolir.
Tragedi kemanusiaan
yang mencemaskan warga dunia itu niscaya memantik aneka reaksi. Sebagai makhluk
sosial yang secara hakiki mempunyai naluri solider, reaksi yang muncul tentu
empati dan solider.
Namun ironisnya, ada
reaksi aneh dan irasional di balik tragedi alam ini, yakni menjadikannya bahan
candaan dan mengaitkannya dengan isu sentimen etnis dan agama.
Sebagaimana diwartakan
tirto.id, ada beberapa sikap yang dipublikasikan netizen terhadap tragedi
kemanusiaan di Wuhan, Cina itu.
Semisal akun Twitter @mas__piyuuu yang membangkitkan sentimen SARA
melalui artikel Portal-islam.id. Mereka memicu rasisme terhadap etnis Cina
dengan memanfaatkan isu muslim Uighur.
Hal serupa juga disebarkan akun Twitter
@Dennysiregar7. Menurutnya Virus Corona di Cina merupakan azab Tuhan sebab
China menganiaya muslim Uighur.
Selain itu, Stand up Comedian, Reza
Pardede alias Coki Pardede, menjadikan wabah Virus Corona sebagai bahan untuk
bercanda. Namun, usai ramai dikritik netizen, Coki menyampaikan permohonan
maafnya, (tirto.id).
Secara
eksplisit, sikap netizen +62 ini tidak menunjukkan empati dan solider sebagai
makhluk manusia sosial. Derita “yang lain” sebagai sesama manusia dijadikan
objek pelampiasan naluri egoismenya.
Selain itu,
secara implisit orang yang me-lucon-kan dan mengaitkan tragedi ini dengan isu
SARA sedang menambah beban derita korban virus mematikan ini. Pada konteks ini,
rasa kemanusiaan sebagai sesama manusia melemah. Naluri egoisme lebih kuat
mencekik spirit dan dorongan kemanusiaan sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk
yang niscaya berada bersama “yang lain”, sangat penting untuk melihat tragedi
ini secara jernih sebagai konsekuensi dari peristiwa alam biologis. Bukan
akibat dari “hal lain” yang bersumber dari kecurigaan atau kepercayaan dangkal
semata.
Kita sebagai
makhluk sosial sejatinya menunjukkan sikap solider terhadap sesama yang
menderita. Bukan malah menghujat mereka dengan komentar-komentar yang
irasional. Sikap solider ini bukan ditunjukkan lewat bantuan materi semata, tetapi
dengan dukungan moril seperti ucapan-ucapan yang menguatkan para korban.
Sebagai “ada
yang rasional”, warga +62 ini seyoginya lebih rasional dalam menginterpretasi
sebuah tragedi. Rasionalitas ini secara implisit menumbuhkan sikap solider
terhadap “yang lain”, terhadap yang berlawan atau yang bukan kita.
Mengedepankan rasio daripada kecurigaan sangat urgen diaplikasikan dalam menginterpretasi tragedi yang bertalian dengan kehidupan sosial. Sebab, kecurigaan bersifat "alergi" sosial, dan berpotensi melahirkan konflik.
Rudi Haryatno
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment