Pariwisata
Petualangan
Pulau Tanpa Nama Itu Milik Kami Bertiga
Hedwig sedang asyik mengabadikan momen di Pulau tanpa nama, SP3 Sorong-Papua Barat, Minggu (8/12/2019). |
“Bapa, itu pulau apa?”
“Itu pulau tanpa nama.”
“Boleh kita bermain disana?”
“Kenapa tidak?”
“Kalau begitu, mari kita berekrasi disana. Sepakat?”
“Sepakat!”
***
Pengalaman ke tempat baru di hari Minggu, 8 Desember 2019 dimulai
dari kata sepakat antara aku (Hedwig), Only, dan Egi. Perjalanan dimulai dengan
menginjakkan kaki dan duduk santai di atas perahu motor (longboat).
Jujur, ini adalah pengalaman ketigaku berada di atas perahu
motor selama dua puluh tiga tahun berada di atas muka bumi. Maklum, sebagai
anak gunung yang terlahir jauh dari pantai, melihat laut saja jarang apalagi
menaiki perahu motor.
Angin dari pulau dari seberang meniup pelan, seakan berbisik
halus di telinga, “Pulau sudah menunggu kalian”. Bila memang itu yang
dikatakannya, maka sangatlah tepat dengan suasana hati ini yang menggebu-gebu
untuk merasakan keindahan pantai di pulau seberang.
Sungguh, di atas perahu ini teriknya sinar mentari tidak
berasa. Sebab pandangan mata lebih sibuk pada keindahan alam di kiri dan kanan.
Sementara bibir terus berkomat-kamit saling berbincang dan tangan yang tak
lelah menggenggam handphone tuk
mengabadikan momen indah ini.
Tak sampai lima menit untuk berpindah pulau. Tidak menunggu
aba-aba pula untuk menginjakkan kaki di bibir pantai, tepatnya di atas pasir
putih dengan genangan air laut setinggi lutut. Dalam hitungan waktu yang tidak
sampai semenit, Egi dan Only sudah menanggalkan pakaian lalu berenang.
“Teman mari sudah, jangan pake lama,” teriak Only. Merasa
tertarik dengan kegembiraan mereka, alhasil dalam sekejap saja kaki saya
berlari di atas tumpukan pasir putih yang halus, lalu terjun menghempaskan
badan di kedalaman air laut yang dalamnya cuma satu meter.
Sumpah, airnya dingin seperti air tawar. Jernih pula! “Bagaimana
enak to?” Tanya Egi sambil berenang menjauh ke dalam. “Sangat! Segar lagi”, balasku.
Tidak puas dengan menceburkan badan, saya coba menceburkan
kepala dengan mata terbuka. Tuhan terlalu indah. Hanya beberapa detik saja,
saya melihat keindahan bawah laut yang lazimnya tayang di televisi. Beberapa
ekor ikan yang dengan asiknya lewat di depan mata. Bahkan tanpa menceburkan
kepala pun, kita akan melihat untaian pasir putih dengan air yang mengkristal
karena pantulan cahaya matahari. Di atas pasir putih itulah ikan-ikan berenang
ria.
Ketika kami sedang asyik berenang sambil bercerita, tiba-tiba
dari daratan terdengar bunyi benda yang jatuh. Bunyi itu bukan hanya sekali,
tetapi beberapa kali. Kemudian kami mengecek. Dari balik semak, muncul Pace yang
tadi mengantar kami ke tempat itu. Tampang letih tampak di raut wajahnya, sebab
tangan kiri dan kanan menenteng beberapa buah kelapa.
Ternyata bunyi-bunyi tadi itu adalah suara dentuman buah
kelapa yang jatuh ke tanah.
Melihat buah kelapa muda yang ditenteng oleh Pace itu, maka
perut dan lidah mulai meminta jatah. Apalagi di siang hari dengan letak
matahari yang berada di puncak, sangat cocok bila tenggorakan disegarkan dengan
air kelapa muda. Tanpa pikir panjang, saya coba pergi mendekati Pace, lalu mulai bercakap dengannya.
“Bapa, ini pulau ada pemiliknya
(kah)?” tanyaku memulai percakapan.
“Tidak, pulau ini milik semua orang”.
“Lalu, bagaimana dengan kelapa-kelapa
yang ada disini. Bisa dipetik begitu sajakah?”
“Siapa saja yang datang ke sini boleh
menikmatinya. Tapi harus petik sesuai dengan yang dibutuhkan, bukan asal
petik.”
“Berarti kami sebentar bisa memetik
beberapa buah kelapa di sini?”
“Tidak perlu petik. Ini, saya sudah
petik beberapa buah untuk kalian.”
“Ah, bapa terimakasih banyak. Tapi
kami tidak punya parang untuk kupas kelapa-kelapa ini.”
“Sudah, ko jangan terlalu pikir.
Pakai saja ini parang. Nanti baru saya datang ambil.”
“Baik sudah bapa, sekali lagi
terimakasih banyak.”
Lengkap sudah kesempurnaan di pulau ini; pemandangannya indah,
suasana tenang, airnya segar dan jernih, ditambah lagi dengan persediaan buah
kelapa yang gratis. Perfect!
Buah kelapa ini menjadi berita gembira untuk Only dan Egi.
Ketika hendak memanggil mereka berdua, ternyata mereka sudah ada di belakang
saya, bersiap untuk mengupas kelapa. Kelapa pertama, kedua, dan ketiga pun
dikupas. Sambil duduk berbaris menghadap ke arah laut, kami meneguk air kelapa
muda itu.
“Sio ah, enak apa…”, tegas Only sambil menikmati manisnya
air kelapa muda. Setelah airnya diminum, kelapa-kelapa itu kemudian dibelah
untuk disantap isinya. Sambil menyantap isi kelapa, kami duduk santai sambil
bercerita.
Tiba-tiba kami bertiga kaget dengan kejutan yang ada di depan
kami. Sebab ada suatu momen yang baru kami lihat; ikan menangkap burung.
Bukankah sebaliknya, burung menangkap ikan?
Tapi disini, di laut indah nian ini baru kami lihat beberapa
ekor ikan yang berusaha menangkap seekor burung yang terbang rendah di atas
air.
“Rupanya itu burung mau cari masalah dengan ikan”, gumam Egi
yang membuat kami tertawa.
Setelah menyantap buah kelapa dan makanan ringan yang sempat
kami bawa, kami kembali menceburkan diri di air yang sedari tadi tidak ada yang
sentuh selain kami bertiga. Di situ saya merasa, seolah-olah pantai dan pulau
itu milik kami bertiga.
Tiga pelancong Egy (Kiri), Hedwig (Tengah), dan Only sedang asyik menikmati segarnya laut Pulau tanpa nama, di SP3 Sorong-Papua Barat, Minggu (8/12/2109) |
Air yang begitu jernih kembali membasahi kulit yang tadi
kering. Kesegaran pun kembali terasa. Ada pula ikan-ikan tidak pernah bosan
melintas, seolah-olah hendak menemani kami yang sedang berenang.
Tidak terasa sudah empat jam kami berada di pulau itu. Sungguh,
menikmati keindahan panorama dan suasana di sana membuat hati betah dan tidak
ingin berpindah tempat. Terlalu asyik.
Akhirnya, cerita indah berada di pulau tanpa nama itu pun harus ditutup sebab
perahu motor yang tadi mengantar kami, kini kembali datang menjemput. Kembali
menaiki perahu motor berarti menjadi kesempatan keempatku berada di atas perahu
motor.
Ini momen langka dan penting bagi kami anak gunung yang
berada jauh dari laut. “Terimakasih Pulau dengan segala keindahanmu dan
pengalaman yang sudah kami rasakan. See
you next time”.**
*Lokasi Pulau, berhadapan dengan
Pelabuhan SP3, Kabupaten Sorong-Papua Barat.
Hedwig Nambung
Tinggal di Seminari Petrus van Diepen Aimas, Sorong-Papua Barat
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment