SosPol
Peran Publik Perempuan dalam Ruang Demokrasi
Sumber gambar, serikatnews.com |
Ruang publik-politik demokrasi dewasa ini tidak sepi
dari gerakkan perempuan. Perempuan dan organisasi perempuan tidak lagi dibrendel.
Perempuan dapat mengekspresikan hak politiknya dalam ruang politik formal dan
informal dengan bebas. Perempuan tidak lagi berada dalam limitasi mutlak kultur
patriarki. Kelahiran organisasi-organisasi perempuan, kemunculan perempuan
dalam wilayah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta beberapa wilayah
publik-politik lainnya, setidaknya menjadi bukti keterlepasan perempuan dari
budaya putriarki itu.
Menurut Peneliti
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, sebagaimana dilansir kompas.com misalnya, dari 575
anggota DPR periode 2019-2024, 458 orang laki-laki dan 117 orang perempuan.
Secara prosentase jumlah anggota DPR laki-laki sebanyak 80 persen dan perempuan
sebanyak 20 persen. Hal tersebut meningkat sebesar 22 persen dari Pemilu 2014
lalu. Pada saat itu anggota DPR perempuan hanya 97 orang dari 560.
Namun, di tengah nuansa demokratis dan “tidak monoton
patriarki” ini, penuntutan untuk meningkatkan kuantitas keterlibatan perempuan dalam
politik, terutama dalam politik formal mesti terus didengungkan. Itu logis,
sebab fakta riilnya, keterwakilan perempuan dalam politik formal belum meningkat
maksimal. Ruang parlemen masih didominasi oleh laki-laki.
Menurut Lucius
Karus, dalam kompas.com, sejauh ini keberhasilan perjuangan keterwakilan perempuan
baru sebatas pemenuhan kuota pada proses pencalonan saja. Tentu perjuangan itu belum berhasil menjamin hasil
dengan kehadiran 30 persen perempuan pada lembaga parlemen kita.
"Perjuangan
keterwakilan perempuan tentu sesuatu yang harus didukung. Dukungan publik atas perjuangan
itu tentu saja akan membantu perjuangan kaum perempuan untuk bisa bersaing dengan
politisi laki-laki," tegasnya.
Penulis sepaham dengan tesis putra kelahiran Manggarai
itu. Bahwa, kuantitas keterlibatan perempuan dalam politik mesti terus dikampanyekan.
Namun, ada satu hal yang seyogiyanya diperhatikan, yakni kualitas personalnya.
Sebab ada ketakutan, penekanan berlebihan pada kuantitas akan mengalihkan perhatian
dari kualitas.
Peran Publik Perempuan
dalam Ruang Demokrasi
Ada dua bentuk peran publik perempuan dalam ruang demokrasi.
Pertama, peran publik-politik
informal. Peran publik informal adalah bentuk keterlibatan perempuan dalam
dunia publik-politik yang tidak bersifat politis. Ia bersifat independen, tidak
berafiliasi dengan partai politik dan birokrasi, seperti LSM, perusahaan
swasta, dan lainnya.
“Advokasi menjadi ekspresi gerakan politik informal”
(Wasisto Raharjo Jati: November 2014, 203-204). Kandungan advokasi yang
disuarakan adalah persoalan-persoalan khusus yang mendera rakyat, semisal perlindungan
buruh migran, lingkungan hidup, human
trafficking, HIV/AIDS, dan sebagainya.
Dalam ruang demokrasi, banyak perempuan yang terjun dalam
dunia politik informal, seperti dalam organisasi-organisasi perempuan. Sejak gerbang
reformasi dibuka, organisasi-organisasi independen ini mulai membiak.
Tercatat, sudah ada ribuan organisasi perempuan yang
bersebaran di seantero Nusantara. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) periode
2014-2019, Rini Soemarno, dalam sambutannya pada pembukaan Sidang Umum ke-35
ICW dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia, di Yogyakarta,
Kamis (13/9/2018), mengatakan bahwa dia semula sangsi perihal keberadaan seribu
organisasi perempuan Indonesia. Namun, setelah mendapat konfirmasi, ternyata benar
ada seribu organisasi perempuan di Indonesia (www.republika.co.id).
Sebaran ribuan organisasi perempuan dalam ruang publik
demokrasi saat ini, serentak mewartakan bahwa banyak perempuan Indonesia yang
mulai terlepas dari belenggu kultur patriarki.
Kedua, ruang politik
formal. Sejak tumbangnya Orde Baru, keterlibatan perempuan dalam ruang politik
formal diprioritaskan. Dalam UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Legislatif misalnya.
Pada bagian Pendaftaran Partai Politik sebagai Calon
Peserta Pemilu, Pasal 15, Huruf d menerangkan bahwa salah satu persyaratan yang
harus dimiliki Partai Politik agar menjadi salah satu Partai peserta pemilu adalah
adanya, “surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Selanjutnya pada bagian Tata Cara Pengajuan Bakal Calon
Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dalam Pasal 55 dijelaskan
“daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit
30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.” Lebih lanjut, pada Pasal 56
ayat 2 menegaskan “di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu)
orang perempuan bakal calon.”
Hasil dari UU tersebut menunjukkan trend positif terhadap
kuantitas keterwakilan perempuan di legislatif. Tercatat dari 575
anggota DPR periode 2019-2024, terpilih 458 orang laki-laki dan 117 orang
perempuan. Secara prosentase jumlah anggota DPR laki-laki sebanyak 80 persen
dan perempuan sebanyak 20 persen. Hal tersebut meningkat sebesar 22 persen dari
Pemilu 2014 lalu. Pada saat itu anggota DPR perempuan hanya 97 orang dari 560
orang.
Selanjutnya, dalam wilayah politik formal lain
perempuan tak ketinggalan, misalnya dari 34 menteri kabinet Indonesia Maju periode
2019-2024, terdapat lima perempuan. Memang jumlahnya lebih banyak dari periode sebelumnya
(2014-2019), yaitu delapan orang. Tetapi perempuan setidaknya diikutsertakan dalam
membangun negeri pertiwi ini.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga
mencatat terdapat 31 perempuan dari total 342 orang yang terpilih menjadi kepala
daerah dan wakil kepala daerah pada Pilkada serentak 2017. Merujuk data itu,
maka persentase perempuan sebagai kepala daerah sebesar 9,06 persen. Angka ini memang
cenderung stagnan jika dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Di
Pilkada 2015 hanya ada 8.7 persen perempuan yang menang. Sementara di 2017,
hanya 5.90 persen perempuan yang menang (tribunnews.com).
Secara agregat, kuantitas keterlibatan atau keterwakilan
perempuan dalam kehidupan politik dalam ruang demokrasi tidak dapat dikatakan
“kurang.” Perempuan mulai ikut ambil bagian secara aktif dalam kehidupan publik-politik.
Hak politiknya tidak lagi dibrendel secara mutlak oleh spirit patriarki.
Hal ini bukan berarti bahwa penulis menentang suara kaum
perempuan melalui berbagai organisasi atau perwakilan perempuan yang menuntut konsistensi
pengaplikasian bunyi UU No. 8 tahun 2012, perihal kuota minimal 30%
keterwakilan perempuan. Namun, persoalannya adalah penekanan pada kuantitas akan
meminggirkan perhatian pada kualitas politisi perempuan.
Problematika Peran Publik
Perempuan
Aktivis perempuan dan beberapa organisasi pemerhati perempuan
cenderung menuntut kuantitas keterlibatan perempuan dalam ruang publik-politik
formal. Menuntut agar setiap partai peserta pemilu memenuhi persyaratan minimal
30% keterwakilan perempuan untuk menduduki kursi (calon) DPR-RI dan DPRD.
Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPP-RI), Kaukus Perempuan
Politik Indonesia (KPPI) dan Maju Perempuan Indonesia (MPI) misalnya,
menyambangi kantor Komisi Pemilihan Umum RI (KPU-RI), Jakarta Pusat pada Jumat
26 Januari 2018 untuk mendorong partisipasi perempuan baik perwakilan di partai
politik, maupun dalam setiap agenda sosialisasi KPU yang akan dilaksanakan,
baik di tingkat pusat dan kabupaten/kota (politik.rmol.co).
Latar belakang tuntutan keterlibatan perempuan dalam
politik tentu agar ruang publik-politik tidak didominasi oleh laki-laki. Partisipasi
perempuan dalam politik juga urgen karena yang sunguh-sungguh memahami dan
mengerti persoalan dan kondisi perempuan adalah perempuan itu sendiri.
Dengan masuknya perempuan dalam ranah politik
(publik) diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap produk-produk kebijakkan
yang dihasilkan, khususnya yang berkaitan langsung dengan kehidupan perempuan (Loura Hardjaloka: Juni 2012, 420-421). Karena itu,
desakan kuantitas keterwakilan perempuan dalam politik formal bukan tanpa alasan.
Namun ironisnya, perempuan dalam parlemen belum sepenuhnya
berperan sebagai wakil rakyat, wakil suara feminimitas rakyat. Lucius
Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), dalam
kompas.com menegaskan bahwa sejauh ini politisi perempuan yang sudah berkiprah belum
berhasil menunjukkan perubahan warna politik karena kehadiran mereka.
Di samping
itu lanjutnya, politisi perempuan di parlemen, belum juga terlihat menjadi saluran
aspirasi kelompok perempuan pada umumnya. Mereka jarang muncul sebagai inisiator
dan juga konseptor pada isu-isu utama yang berkaitan langsung dengan perempuan.
"Contoh
nyata misalnya di proses pembahasan RKUHP dan RUU PKS. Banyak isu terkait hak perempuan
dalam RUU-RUU tersebut yang mestinya menjadi medan ujian bagi politisi perempuan
di parlemen dalam membuktikan komitmen mereka sebagai politisi perempuan sekaligus
representasi perempuan Indonesia umumnya," kata dia.
Selain itu, ada banyak politisi perempuan, baik yang
berkecimpung dalam ruang publik-politik formal dan informal yang terjerat kasus
korupsi. Berdasarkan statistik yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam situs acch.kpk.go.id, per 29
Februari 2016, KPK telah melakukan penyelidikan sebanyak 769 perkara,
penyidikan 483 perkara, penuntutan 397 perkara, inkracht 323 perkara, dan
eksekusi 343 perkara. Dalam data KPK, setidaknya terdapat 48 perempuan yang
pernah terlibat kasus korupsi (kompas.com).
Memang angka statistik keterlibatan perempuan dalam actus korupsi tidak sebanding dengan
politisi laki-laki, tetapi harapan rakyat untuk memberikan kualitas politik dalam
ruang kebijakan publik kurang dapat diperankan dengan penghayatan penuh oleh
para perwakilan perempuan.
Ada ketakutan juga, bahwa perempuan yang tidak berkualitas
yang duduk di kursi parlemen akan menjadi instrument politik partai. Partai menjadikan
mereka alat untuk menaikan kuantitas suara
partai.
Demikian juga, isteri pejabat yang menjadi Bupati/Wakil
Bupati atau Gubernur/Wakil Gubernur, atau yang duduk di kursi legislatif bisa menjadi
boneka yang distir oleh suaminya.
Pada titik ini, otonomi dan liberalitas perempuan terlucuti. Perempuan
mengalami peminggiran secara lain.
Antara Kuantitas dan
Kualitas
Fakta problemtis tersebut di atas, sejatinya menjadi
titik tolak gerakan baru organisasi perempuan, termasuk Negara dan Partai Politik.
Bahwasannya, penekanan pada kuantitas keterlibatan perempuan dalam ruang politik
formal akan menepikan kualitas (calon) politisi perempuan. Wadah pendidikan politis
itu sudah ada, yakni oraganisasi atau LSM.
Organisasi-organisasi perempuan menjadi wilayah
sentral untuk member pengaruh politis dan kualitas politis bagi (calon)
politisi perempuan. Organisasi-organisasi perempuan membuka ruang pengalaman baginya
dalam urusan di tengah lingkungan publik dan membantu membangun kepercayaan dirinya,
serta memberikan dukungan jika seorang perempuan memutuskan untuk mencalonkan diri
untuk bertarung merebut kursi di legislatif atau eksekutif.
Seorang perempuan yang sudah malang melintang
dalam organisasi-organisasi akan mudah menarik sumber daya dari suatu organisasi
lain untuk membantu mendukungnya. Dan dilihat sebagai kandidat yang aktif oleh
aparatur partai (Julie
Balington: 2002, 70-71). Karena itu, organisasi-organisasi
perempuan mesti aktif dan “genit” menyuarakan atau mengkampanyekan perihal urgensitas
keterlibatan dan keaktivan perempuan dalam organisasi-organisasi atau NGO.
Memotivasi (bukan memprovokasi) akademisi perempuan di kampus-kampus atau
di ruang publik lain untuk terjun aktif dalam organisasi-organisasi, sejatinya menjadi
agenda penting dalam gerakan organisasi-organisasi perempuan.
Sebab, dari sanalah karakter politis (politisi) perempuan dibangun, bukan dari panggung
entertaint, bukan dari kelimpahan harta, juga bukan dari rumah kuasa sang
suami, sang ayah, atau sang kakek.
Yulius R. Hariatno
Tinggal di Seminari Petrus van Diepen Aimas, Sorong-Papua Barat
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment