Ads Right Header

Panah

Ilustrasi, argumentasi.com

Gunung, lautan dan daratan kami menyimpan harta karun yang maha luas. Sudah berabad-abad nenek moyang kami  telah membuncahkan tenaga, mempertahankan seisi hutan dan lautan, untuk menghidupi kami sampai pada generasi ketujuh. 

Angka tujuh seperti yang kami dengar dari guru agama kami dalam kotbahnya hari minggu adalah angka sempurna. Demikianlah  Kami tak ada kekurangan sedikit apa pun sebab alam semesta menghidupi kami. Kami berkewajiban untuk menjaga seluruh tatanan kehidupan di seantero alam jagat raya kami yang maha luas ini, agar jangan sampai terjadi melapetaka membanjiri seluruh kehidupan kami.

Kami hanya mengambil sedikit dari apa yang ada di hutan atau pun di lautan. Kami hanya bermodalkan senjata panah, warisan leluhur kami yang tak akan kami jual sampai matahari mengeringkan lautan kami. Sekalipun nenek moyang kami mengabdikan seluruh hidup untuk berburu, tetapi mereka tau batas-batasnya. Mereka berburu bukan untuk menghabiskan segala binatang yang ada di hutan atau pun di lautan. Mereka sebenarnya berburu atas dasar cinta mereka kepada kehidupan anak manusia, cinta kepada cucu dan cicit mereka. 

Dengan berburu mereka telah menghidupi kami. Kami tak akan membiarkan seisi hutan dan lautan dijual habis untuk kemulian nama lelaki itu, atau apalah sebutan yang cocok untuk disematkan kepada lelaki berdasi itu. Pokonya kami akan berjuang mati-matian untuk tanah leluhur kami.

Lagian sebelum lelaki itu menjabat sebagai kepala distrik untuk seluruh wilayah termasuk  kampung kami,  kami bebas menikmati indahnya seluruh kekayaan di hutan dan lautan kami. Tak ada yang namanya larangan. Tak ada yang pernah hatinya disayat-sayat oleh janji manis yang kerap menyihir jiwa kami.

Bagaimana pun kami akan membuat pemberontakan. Sebab kalau tidak, kebanggaan kami terhadap harta warisan yang ada di tanah leluhur kami akan sirna tak berbekas. Selama ini kami tidak pernah hanya ingat diri kami  sendiri, kami selalu berbagi dengan seisi kampung ketika kami mendapat buruan di hutan atau mendapat ikan di lautan. Belum pernah kami membuat hutan yang ada disekililing kampung kami menjadi milik kami sendiri. Nenek moyang kami telah mengajarkan kepada kami, kalau semua yang ada di hutan atau di lautan hadiah dari Tuhan untuk kami jaga sepanjang masa. 

Kami punya kebiasaan untuk tidak menolak siapa pun. Siapa pun boleh datang di daerah kami, sejauh ia bertujuan baik demi kehidupan bersama. Bukan hanya sesama kami tetapi seluruh negeri ini dari Sabang sampai Merauke. Kami merasa semua manusia entah dari suku, ras, dan agama apa pun adalah saudara kami. Karena itu kami menerima mereka untuk datang di kampung kami sebagai saudara bukan sebagai musuh. 

Kami saling mencintai yang membuat ikatan persaudaraan kami di kampung ini terjalin erat tak akan pernah terputuskan. Kini kami sehati-sejiwa untuk menghempas lelaki berdasi itu dari daerah kami, karena dengan diam-diam selama ini, ternyata ia menjual harta warisan leluhur kami di luar kampung kami, di luar negeri kami  sendiri untuk kemegahan dirinya sendiri. 

“Sebentar lagi ia akan kembali dari Jakarta. Kita mesti pasang strategi yang baik untuk bicara agar ia sebaiknya berhenti dari jabatannya sebagai kepala distrik di wilayah kita ini”, tukas kepala kampung.

“Kami setuju. Kalau ia masih ngotot tidak mau turun dari jabatannya kita mesti ambil cara lain”, sambut para warga kampung. 

“Bukti kita harus pegang, kalau memang ia nekat mau menjual lagi semua burung cenderawasih yang ada di sekeliling hutan dari kampung kita ini, hukuman panah siap dijalankan”, timpal kepala kampung.

“Pokonya kami setuju, yang tersisa di hutan kita ini hanya burung cenderawasih, yang lain semua sudah ia jual kepada temanya para pengusaha itu. Liat saja minyak ia sudah jual, sekarang mau jual lagi kita punya burung cenderawasih, enak apa dia”, respon seorang warga kampung

Selama ini kami nampaknya diam tak bersuara, tetapi sesungguhnya hati nurani kami  sudah tak bisa menampung perbuatan lelaki itu. Lelaki berdasi yang sudah lama menjadi kepala distrik di daerah kami. Kami menunggu waktu yang tepat untuk menumbangkan lelaki itu dengan cara kami sendiri.
Kami berani mengambil resiko bila ia belum juga menanggalkan jabatannya. Kami memang tidak suka pada pemimpin yang bertopengkan kejujuran untuk melancarkan segala kemunafikannya di kampung kami. Kami sendiri selama ini belum sepenuhnya menikmati harta warisan yang terbentang jauh di atas negeri kami ini. Satu-satunya kebanggaan yang tersisa di kampung kami kini adalah burung cenderawasih. Kami akan tanam kepala untuk mencegah agar siapa pun tidak boleh mengambil cenderawasih dari kehidupan kami. 

Cenderawasih menjadi kekhasan di kampung kami. Kalau sampai burung ini juga akan dijarah oleh orang tak dikenal atau lelaki itu menjualnya ke kampung lain, atau ke negeri lain atas nama kami, tak segan-segan kami mengambil tindakan. Tak tahan kami memendam amarah atas laku buruk lelaki itu yang menjual seluruh harta warisan leluhur di sekitar hutan kami di kampung ini. 

Lebih parahnya lagi, ia menjualnya atas nama kampung kami seolah-olah kami menyetujui semua tindakannya. Kami tidak akan menghormati lelaki itu lagi sebagaimana yang telah kami lakukan sebelumnya. Penyesalan memang selalu datang terlambat, tetapi bagi kami lelaki itu sudah bukan lagi kepala untuk seluruh wilayah di daerah kami. Kami akan memaksa lelaki itu untuk turun dari jabatannya. 

“Kita mesti tetap tenang sebentar lagi ia akan datang semua bukti atas tindakan buruknya sudah ada di tangan kita,” kata kepala kampung.

“Banar, kalau ia mati-matian tidak mau turun dari jabatannya sebagai kepala distrik dan tidak bisa mempertanggungjawabkan kenapa ia menjual burung cenderawasih yang ada di seluruh hutan kita ke luar Papua, kami sendiri akan menghukum dia. Kami sudah siap panah”, tukas warga kampung. 

Aliran darah kami mengalir deras diselimuti perasaan emosi yang kian membara. Kami tidak lagi memikirkan surga dan neraka, yang kami pikirkan bagaimana kami harus memaksa lelaki itu untuk turun dari takhta kekuasaannya atas diri kami. kami tidak peduli apa pun yang terjadi bagi kami lelaki itu sudah sepantasnya mati, kalau ia masih menampik bukti-bukti kejahatan yang telah ia lakukan atas nama kami. Kami akan menancapkan panah-panah kami ini ke dalam jantung hati lelaki itu.  

“Rupanya ia sudah datang, tunggu sampai ia masuk ke dalam rumahnya baru kita menyusul,” Kepala Kampung kembali bersuara. 

“Sebaiknya sekarang kita menyusul dia sebelum anak isterinya kembali dari Merauke”, pekik warga kampung. 

Proses hukuman segara berjalan. Kami bertindak seturut hukum adat istiadat kami bahwa siapa saja yang berani menjual harta warisan entah itu yang ada di hutan atau pun di lautan atas nama kami ia segera dihukum dengan panah. Kami tidak peduli siapa pun dia. Kami sudah sepakat, biar kami menanggung segala perbuatan kami atas lelaki itu demi cenderawasih untuk anak, cucu dan cicit kami. 

“Kami datang kemari, minta supaya bapak mundur dari jabatan sebagai kepala distrik karena kami sudah mendengar berita di TV, di radio, dan  koran kalau bapak mau menjual seluruh burung cenderawasih yang ada di  hutan sekitar kampung ini”, kata Kepala Kampung.

“Dari mana kalian mendapat berita-berita ini, saya tidak menjual, saya hanya mau memindahkan cenderawasih di hutan kita ini ke tempat lain, berhubung hutan kita ini akan kita pakai membangun perusahan besar yang nantinya kita semua bisa mendapat bagian, di mana pihak perusahan akan bersedia menyekolahkan anak cucu kita”, lelaki itu menampik. 

“Tapi semua bukti atas tindakan bapak sudah jelas.” 

“Semua berita itu jangan kalian percaya, itu bohong.” 

“Kami tidak percaya dia lagi, mana ada pencuri yang mau mengaku”, teriak para warga dengan nada tinggi

“Atas dasar apa kalian semua datang membawa panah untuk menghukum saya?  Kalian tidak punya hak untuk menurunkan saya sebagai kepala distrik di wilayah ini. Supaya kalian tahu, saya juga anak yang terlahir dari daerah ini”,  lelaki itu berdiri jumawa sambil meluncurkan kata-kata protesnya kepada warga. 

“Ia tidak mau mengaku. Panah dia, panah dia!!!” teriak warga kampung.

Seorang warga kampung berdiri melesat ke depan sembari membidik panahnya pada terdakwa. Lelaki itu terkesiap ia melompat masuk ke dalam kamar hendak mengambil pedang dan jimatnya. Tetapi sudah terlambat. Secara serampangan semua warga kampung melepaskan tembakan hinggga lelaki itu jatuh terkapar  di lantai. Darah mengalir membanjiri seluruh ruangan. Panah-panah itu masih tertancap jelas di sekujur tubuhnya. Tak ada air mata yang mengiringi kepergian lelaki itu. Bahkan anak isteri serta seluruh keluarganya tak sempat menghantar kepergiannya dengan air mata. 

“Semua sudah beres”, kata kepala kampung.

“Iya, kami semua siap untuk dihukum penjara seumur hidup demi tanah dan cenderawasih kami.”
 

 Mateus Syukur

Formator pada Seminari Petrus van Diepen, Aimas, Sorong, Papua Barat
Previous article
Next article

Leave Comments

Post a Comment

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel